LAUT YANG TENANG TAK AKAN MENGHASILKAN PELAUT YANG TANGGUH

Wednesday, May 9, 2012

Seribu Rupiah, kontroversi atau Unik?

Uang saribu ni kalu bukang masu di kotak amal/celengan, pasti dong simpang akang par uang kombali, jarang par mau pi stor akang di bank, tapi katong harus sadar, ini kepeng saribu rupia ni paleng merakyat, karna tiap hari  akang ada di pasar, di dalam oto, di pangkalan ojek, sampe di dalam oma2 dong pung kaeng salele, heheeee,. coba ale dong pi di apertemen , hotel berbintang, diskotik, deng tampa2 mewah yang orang kaya seng tau diri deng pejabat2 dalam muka korupsi biasa pigi di akang tu, pasti kepeng saribu ni jarang mau laia akang, dong cuma slak deng kartu kredit kalu seng kasi uang merah kong dong bilang, "suda akang pung kambali par ose jua"...

kastinggal dong jua biar korupsi tapi uang itu dong yang punya jadi mau bilang apa,..
temen2 yang gk ngerti dialek Ambon, maaf ya dari pada membudayakan bahasa inggris mending pake dialeg Ambon saja, biar wawasan Nusantara kita bertambah dikit,, heheheee piss out ada inggrisnya juga neh..
Beberapa hari yang lalu saya iseng iseng search di paman Goegle tentang keunikan Maluku, tapi yang banyakan muncul kok keunikan uang seribuan, dia antaranya, icon Smile di kancing Baju kapitan Pattimura , kontaradiksi letak pulau di baliknya dan senyum Kapitan Pattimura yang Ramah..
begini cerita Uniknya :
parang dan senyum yang ramah 

Banyak yang bilang, katanya Mantan Wapres Siswono Yudo Husodo pernah mengkritisi kontradiksi Gambar Kapitan Pattimura berpose dengan senyum yang ramah ala nyong ambon, akan tetapi bawa parang terhunus, siapa yang bikin yah desain gambar pahlawan ini? menurutnya senyum kapitan Pattimura harus lebih Garang dan sangar ketika menghunus Parang. tapi saya search kok gak ada tuch kritikan Pak WAPRES tentang ini.



Pada Zamannya Orang Maluku adalah Pencetus pertama Revolusi pertanian, khususnya tanaman cengkeh, parang yang merupakan lambang keberanian dan jiwa patriotis sebenarnya adalah Alat untuk membuka hutan,bertani Cengkeh dll, nanti setelah datang Portugis Brengsek dan Belanda Jahannam Barulah Parang menjadi Lambang perlawanan,jadi wajarlah kapitan Pattimura tidak salempang parang dengan wajah Ganas di Uang seribu itu Om….

kontradiksi gambar pulau Maitara danTidore 
 
 Desain Pulau Maitara dan Tidore yang yang di lukis dari Restoran Floridas di Ternate berbanding terbalik dengan foto yang di ambil juga dari Restoran itu.



Ini juga ngawur, orang yang belum pernah ke Ternate kok seenaknya berkesimpulan, lihat Angle gambar  yang satu ini 

Gambar ini jepretnya dari pantai Gambesi, jadi memang bukan dari Hotel Floridas angle desain yang di Uang Seribuan.
Kapitan Pattimura Hobby Karaoke?.

Pattimura yang gagah berani ternyata tidak cuma piawai bertempur melawan penjajah Belanda, namun juga pandai ber-karaoke di saat senggangnya.
Kalo yang ini sih Cuma Bisa bisanya orang yang gk ada kerjaan aja, heheeeee

Kapitan Gayus tambunan
Ini yang menyulut rasa benci 

Pattimura itu Kami (almascatie)

Beberapa hari yang lalu beredar lelucon ala sotosop buatan anak negeri ini di Internet, lelucon kalo boleh dibilang, sayah salut dengan teknik olah digitalnya yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal, sebuah gambar yang dibuat oleh orang super kreatif, untuk memberi kritikan bagi Negeri ini seperti yang lainnya. Akan tetapi disisi lain ada rasa perih yang menyengat di sudut hati, rasa perih yang menjalar ke seluruh tubuh yg membuat sayah ingin menangis sekaligus tertawa melihat gambar itu. Pada gambar itu wajah Pattimura di Mata Uang Rp. 1.000 di ganti dengan wajah Gayus Tambunan. Gayus Tambunan sang pembuka kehancuran negeri ini dengan mempermainkan Indonesia bak rumahnya sendiri yang bisa diobrak-abrik, Gayus yang seakan-akan Tuhannya negeri ini yg tak bisa disentuh oleh siapapun. Gayus menjelma di lembaran seribu rupiah menggantikan wajah Pattimura lengkap dengan menenteng “Parang”.
Maaf, tapi bagi sayah pribadi, seseorang yang lahir di Maluku, seseorang yang hidup ditengah-tengah hutan sagu, gelombang laut Banda, seseorang yang lebih banyak belajar tentang kepahlawanan dan budaya orang lain dari pada belajar tentang lingkungan kami sendiri. Pattimura adalah kebanggaan kami, Pattimura adalah jiwa kami yang membangun negeri untuk kami sendiri. Ditangan Pattimura “Parang” untuk membela rakyat, di tangan Gayus, Parang untuk membelah rakyat Negeri ini.

Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

[Thomas Matulessy]

Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar, dan setiap beringin besar akan tumbang. Tetapi beringin lain akan ganti. (Demikian pula) saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar, dan setiap batu besar akan terguling. Tapi batu lain akan ganti

Dia Thomas Matulessy sang Kapitan Pattimura telah mengucapkan kalimat-kalimat saat menghadapi tiang gantungan dari Belanda atas perlawanannya membebaskan negeri ini dari cengkeraman Belanda, Dulu, saat watak asli budaya zaman “Hena Masa Waya Lotto Honimua”. Kalimat patriotis yang mampu membakar jiwa mereka saat itu dan generasi berikutnya, kalimat tegas sekaligus penyerahana tanggung jawab yang sangat besar bagi Pattimura-pattimura baru untuk menjadi Batu bagi penindasan di negeri ini, menjadi Beringin besar bagi para penjajah negeri ini yang ingin merampas cengkeh dan pala di ewang-ewang cucu alifuru. Pattimura adalah teladan jujaro mungare Maluku yang telah mengakar sebagai sebuah kebanggan kami untuk menunjukkan jiwa heroisme dan patriotisme ditengah merosotnya identitas lokal, nasional oleh kepungan globalisasi.
Pattimura adalah simbol perlawanan kami terhadap penindasan dan ketidak adilan. Di tangan kanan tergengam dengan erat sebuah “Parang” yang tidak hanya dapat diartikan secara sempit sebagai simbol dari “kekerasan”, dimana apapun yang terjadi “Parang” akan berbicara, akan tetapi ini adalah simbol untuk menaklukkan dunia bagi kami, parang menjadi senjata untuk menaklukkan ganasnya Ewang-ewang di belantara Nusa Ina, dengan parang kami jaga dan kami pelihara setiap benih cengkeh, pala dan sagu demi kemakmuran kami. Di tangan kiri, “Salawaku” sebagai perisai demi mempertahankan setiap tapak kaki negeri ini, sambil berteriak “Mena” yang berarti “Maju kedepan” menyongsong masa depan yang lebih baik.
Sungguh, kadang bagi kami orang-orang Maluku merasa telah tersingkir dari ruang bernama “Indonesia”, sekian lama tertinggal dari pembangunan ditambah disayat-sayat oleh konflik yang makin menghancurkan negeri ini. Negeri ini hanyalah menjadi perhatian ketika RMS melempari “Indonesia” dengan kotoran, Selebihnya?

Demi asin lautan yang menghitamkan kulit ari
Kesetiaan adalah bahasa lumba-lumba yang mestinya di mengerti sebagai cinta
Nasib anak negeri yang hanya bertengger sebagai janji
Telah menjelma bisa pari sejak hati terlukai
Kami bukan ikan-ikan mati yang bisa dilempar sebagai tumbal negara ini
Demi kesetiaan berpuluh tahun yang hanya menorehkan luka
Anak-anak hitam, bau bia, bau laut kini memanen kata merdeka
Sekali berucap LAWAMENA selebihnya parang dan salawaku akan berkibar
Bahasa perlawanan sejak Nuku hingga Pattimura adalah bahasa kesetiaan
Kepada negeri airmata dan darah tertumpah sesungguhnya karena cinta
Tetapi Jakarta…
Tetapi Jakarta telah menarik balik pabrik gula di Laimo
Jakarta telah mengambil stasiun oceanologi dan menaruhnya di Bali
Jakarta telah membiarkan kami sejak 19 Januari 1999 tanpa hati
Lalu kesetiaan macam apalagi yang harus kami beri
Untuk hanya sekadar jadi petinju dan penyanyi di jantung negeri
Bukankah Soekarno bilang tanpa kami Indonesia tak jadi apa-apa
Seribu ton kopra yang kami bawa ke istana dimana kini harganya?
Maka demi asin lautan yang mengeritingkan rambut kami
Sumpah Pattimura muda telah kami ikrarkan di seluruh pelosok negeri
Biar peluru menembus kulit kami tetap menerjang
Meminta keadilan sebagai harga atas nasib anak negeri

Selebihnya hanyalah bait-bait pada Sajak “Sumpah Pattimura Muda” karangan Bang Dino Umahuk sajalah yang mampu bercerita tentang segalanya. Bercerita tentang apa yang kami rasakan di sudut Indonesia ini, Sayah masih ingat cerita Bapak dulu, ketika Soekarno datang ke Nusa Ina. Beliau meresmikan sebuah kota yang sekarang menjadi pusat Kabupaten Maluku Tengah, kota yang diberi nama “Masohi” yang merupakan budaya gotong royong memetik cengkeh dikalangan masyarakat Seram Selatan. Masih terngiang desis suara Bapak yang menceritakan tentang pidato Soekarno yang berapi-api, masih teringat sebuah ucapan yang kadang dilupakan oleh mereka yang merasa memiliki Indonesia “Indonesia Tanpa Maluku Bukan Indonesia, Maluku Tanpa Indoensia Bukan Maluku”. Namun itu mungkin sudah terlupakan, kalimat itu hanya sekedar kata mutiara untuk membuat kami terus terbuai oleh angin surga dari barat.

Sayah hanya Memohon untuk di Hentikan Penyebaran lelucon gambar itu, anda yang membuatnya mungkin tidak berpikir sampai kemana kami bisa terluka, aku tahu mungkin niat anda hanyalah untuk menjelaskan betapa bahwa Gayus telah merasuki sistem ini, tapi disisi lain anda telah melukai hati rakyat Maluku. Pattimura-pattimura muda telah sering dilukai oleh negeri ini, Tolong jangan anda menambah luka itu… menyamakan Gayus dengan Pattimura hanyalah sebuah tindakan yang sangat tidak CERDAS. karena “Bangsa Yang Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya..!!!

smile di kancing baju Kapitan Pattimura bila di lihat pake kaca pembesar.

Kebetulan Saja Om, heheee

0 komentar:

Bale Ka Atas

 
abis baca komentar sadiki jua | biar katong baku kanal | salam hangat | par dong samua