LAUT YANG TENANG TAK AKAN MENGHASILKAN PELAUT YANG TANGGUH

Wednesday, May 30, 2012

Pendidikan Bukanlah Mengisi Gelas Kosong


Pendidikan yang membebaskan bukanlah memberikan banyak pelajaran kepada anak didik hingga ia menguasai banyak ilmu pengetahuan. Sama sekali bukan. Ibarat mengisi gelas kosong, pendidikan bertugas mengisi air ilmu pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Bila sudah penuh, berhasillah pendidikan itu. Sungguh, pendidikan yang demikian bukanlah model pendidikan yang membebaskan.

Bila demikian yang terjadi, murid akan selalu menjadi objek, sedangkan guru yang menjadi subjek. Murid tidak pernah ditanya apa yang dibutuhkan dan disenanginya, namun pendidikan terus memberikan apa saja yang dinilainya penting dibutuhkan oleh anak didik. Murid mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima dan menjalani proses pendidikan yang diberikan oleh sang pendidik atau lembaga pendidikan yang diikutinya.

Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka. Sungguh, hanya manusia merdeka yang bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup. Inilah hal mendasar dalam pendidikan yang membebaskan. Bahasa ekstremnya, hasil dari pendidikan yang membebaskan lebih baik menjadi pekerja sederhana yang bahagia daripada sarjana yang selalu saja gelisah dalam hidupnya.

Dengan demikian, memerhatikan potensi yang dimiliki oleh anak didik adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam pendidikan yang membebaskan. Di sinilah sesungguhnya dibutuhkan seorang pendidik yang jeli dan bisa membaca kebutuhan sekaligus potensi yang dimiliki oleh setiap anak didiknya. Dengan demikian, seorang pendidik bisa memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Sungguh, anak didik bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja setelah melalui proses pendidikan.

Pemahaman seperti tersebut di atas sesungguhnya tidak hanya penting bagi para pendidik dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Akan tetapi, penting juga bagi setiap orangtua. Ada seorang anak yang sangat mencintai ilmu biologi ketika duduk di bangku SMA. Sang anak ingin melanjutkan kuliah pada jurusan dan fakultas yang sesuai dengan ilmu biologi. Namun, ayahnya yang seorang sarjana teknik bersikeras agar anaknya melanjutkan kuliah di fakultas teknik. Maka, sang anak yang tidak ingin dituduh sebagai anak yang durhaka kepada orangtua akhirnya hanya bisa menuruti keinginan sang ayah.

Pada saat kuliah, sang anak yang sesungguhnya tidak menyukai fakultas teknik, tidak bisa belajar dengan baik. Hal ini terjadi karena sang anak tidak mempunyai kecintaan dan semangat untuk belajar ilmu teknik. Bila sudah begini, siapakah sesungguhnya yang menjadi korban? Sekian tahun sang anak memaksakan diri mempelajari ilmu pengetahuan yang sesungguhnya ia sama sekali tidak menyukainya.

Setelah berjuang sekuat tenaga menyelesaikan kuliahnya di fakultas teknik, sang anak pun akhirnya lulus dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Sudah selesaikah penderitaan sang anak? Ternyata belum. Setelah lulus dari fakultas teknik, sang anak dipaksa oleh orangtuanya untuk bekerja di sebuah instansi tempat ayahnya bekerja di sana sebagai sarjana teknik. Lagi-lagi, sang anak yang sebelumnya sudah menyatakan ketidaksetujuannya dengan sang ayah hanya bisa menangis dan akhirnya menuruti kehendak sang ayah yang keras kepala. Jadilah sang anak bekerja di sebuah instansi yang sesungguhnya tidak sesuai dengan pilihan dan cita-citanya.

Pembaca yang budiman, kisah dari sang anak yang dipaksa ayahnya untuk kuliah dan bahkan untuk bekerja sesuai dengan kehendak orangtuanya di atas sama sekali bukan sekadar ilustrasi dari tulisan ini yang diangkat dari kisah rekaan. Sungguh, penulis mendapatkan cerita langsung dari sang anak tersebut yang kini telah bekerja di sebuah instansi, yang sekali lagi, di luar keinginannnya. Inilah yang penulis maksudkan jangan sampai terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Orangtua memang mendapatkan amanat dari Tuhan untuk mendidik anaknya agar menjadi orang yang baik dan bertakwa kepada-Nya. Namun, bukan berarti bisa bertindak semena-mena sesuai dengan kehendaknya sendiri tanpa mendengar apa yang menjadi keinginan sang anak. Demikian pula dengan dunia pendidikan, yang dalam hal ini adalah pendidikan secara formal di sekolah. Lembaga pendidikan yang dipercaya oleh masyarakat ini hendaknya juga bisa menemukan apa yang menjadi keinginan dan cita-cita dari peserta didiknya sehingga dapat mengembangkan pendidikan yang diselenggarakannya dengan penuh semangat dan kegembiraan bersama anak didik.

Jika pendidikan masih memberlakukan anak didik sebagai gelas kosong, yang akan diisi apa saja sesuai dengan kehendak orang-orang yang bertindak dan mempunyai kebijakan di dunia pendidikan, akan hanya menghasilkan manusia-manusia yang jauh dari merdeka. Mereka hanyalah manusia yang dicetak untuk menjadi pelaku industri di dunia kapitalisme atau beragam kepentingan kekuasaan yang ada.

Dalam pendidikan yang tidak membebaskan, murid tidak pernah dipandang sebagai pribadi yang mempunyai pilihan dan berkemampuan untuk berkreasi. Murid dipandang seakan sebuah benda yang siap menerima dengan pasif sederet dalil pengetahuan dari seorang guru. Bila sudah begini, pengertian, pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang diberikan seorang guru kepada muridnya sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri pendidikan yang semacam ini biasanya lebih mengajarkan menghafal kepada murid-muridnya daripada memahami, pilihan tertutup daripada esai, atau menyalin dan mencatat daripada membahasakannya kembali dengan cara atau apalagi pemahaman baru.

Sudah tentu kita tidak menginginkan model pendidikan sebagaimana tersebut. Kita menginginkan pendidikan yang membebaskan sehingga anak didik dapat menjadi manusia yang lebih tercerahkan. Pendidikan yang membebaskan sangat menghargai proses hasil pendidikan. Proses yang terjadi dalam pendidikan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dalam rangka memperoleh pemahaman akan ilmu pengetahuan itu jauh lebih penting daripada hafalan-hafalan akan teori ilmu pengetahuan.

Bila merujuk pada pemikiran Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong kemampuan anak didik untuk memiliki kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam kehidupannya. Bila sudah demikian, menurut Freire, pendidikan yang membebaskan juga membangun kepercayaan diri anak didik untuk menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu, proses dalam pendidikan dinilai lebih penting daripada hasilnya.

Dengan demikian, pendidikan tak sama dengan mengisi gelas kosong anak didik dengan ilmu pengetahuan bermakna pendidikan yang menghargai betapa pentingnya anak didik berproses. Proses dalam belajar dimaknai sebagai dinamika pergerakan dari sebuah tingkat kesadaran tertentu menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Hal ini penting bagi anak didik yang menjalani proses belajar agar lebih mudah memahami apa yang sedang dipelajarinya, mempraktikkannya, dan mempunyai sikap ketika menghadapi permasalahan.
Oleh: Akhmad Muhaimin Azzet
Share
Read more »

MASALAH KEJAHATAN DAN KEMAHAKUASAAN TUHAN DALAM PANDANGAN TEISME PROSES

A. Pengantar
Setiap saat manusia diperhadapkan dengan masalah yang dikategorikan sebagai bentuk “kejahatan”, baik berupa peristiwa yang dialami sendiri oleh tiap orang, maupun lewat narasi yang disampaikan orang lain atau media masa. Masalah kejahatan dan penderitaan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bagi para filsuf agama, kategori umum yang sering digunakan terhadap hal itu adalah kejahatan alam (natural evil) dan kejahatan moral (moral evil). Menurut John Hick sebagaimana disitir oleh Meister (2009: 129), penderitaan karena kejahatan moral adalah apa yang berasal dari manusia seperti pikiran kejam dan ketidakadilan yang meresap ke dalam perbuatan. Kejahatan moral dapat termasuk “tindakan” seperti berbohong, memperkosa, membunuh, dan lain sebagainya juga “karakter” seperti kedengkian, keserakahan, iri hati dan sebagainya. Penderitaan karena alam adalah sesuatu yang terlepas sama sekali dari pikiran dan tindakan manusia. Hal itu dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan lain sebagainya. Walaupun demikian, ada juga penderitaan karena alam yang disebabkan oleh karena ulah manusia yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan moral.
Dari semua serangan terhadap klaim-klaim tentang keberadaan Tuhan, masalah kejahatan menjadi fokus argumentasi yang kuat. Artinya, masalah kejahatan tidak bisa diabaikan, bahkan oleh para penganut kepercayaan kepada Tuhan karena realitas kejahatan telah menjadi masalah sejak munculnya teisme itu sendiri. Realitas itu pula yang menjadi senjata andalan para penganut ateisme untuk berargumentasi dan menyerang klaim-klaim keberadaan Tuhan. Yang menjadi fokus perhatian penting kaum teistis atau yang mengakui keberadaan Tuhan adalah bagaimana mendamaikan fakta-fakta kejahatan di dalam dunia dengan eksistensi Tuhan yang diakui sebagai Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu. Jawaban-jawaban filosofis terhadap masalah kaum teistis itu telah diberikan oleh para filsuf agama baik lewat argumentasi kehendak bebas manusia maupun di bidang teodise.
Dalam paper ini, penulis hendak menyajikan pemikiran tentang teodise proses yang dikembangkan berdasarkan filsafat proses dari Alfred North Whitehead (1861-1947). Pemikiran Whitehead dalam bidang filsafat agama dan teologi dikembangkan oleh Charles Hartshorne (1897–2000), kemudian John Cobb, Jr. (1925- ), juga David Ray Griffin.

B. Pembahasan
1. Pendekatan teoretis tentang masalah kejahatan
            a. Secara logis
Masalah kejahatan bukanlah sesuatu yang sederhana, tetapi beragam dan kompleks. Namun demikian, masalah-masalah itu muncul dari dua keyakinan: (1) Tuhan – yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu – eksis; (2) Kejahatan – dengan segala manifestasinya dalam kehidupan – eksis. Ketika kedua premis itu diperhadapkan satu sama lain, maka muncul permasalahan logika.
David Hume (dalam Peterson dkk, 1996: 235-42) mengemukakan argumentasinya lewat dialog antara Demea, Philo dan Cleanthes. Dalam bacaan yang hati-hati terhadap dialog mereka, dapat ditemukan bahwa menurutnya klaim-klaim tentang “Tuhan itu eksis” dan “kejahatan itu eksis” secara logis tidak kompatibel atau bertentangan. Oleh karena itu, ketika diperhadapkan dengan realitas bahwa “kejahatan itu eksis”, maka secara logis “Tuhan tidak eksis”.  Kalaupun klaim-klaim bahwa “Tuhan itu eksis” dan “kejahatan itu eksis” secara logis kompatibel atau tidak bertentangan, maka kebenaran klaim “kejahatan itu eksis” lebih kuat dan dapat dibuktikan secara empiris, namun belum dapat menjadi dasar evidensial untuk menolak klaim bahwa “Tuhan itu eksis”.
              
            b. Secara evidensial
Dikenal dengan istilah masalah kejahatan yang probabilistis. Jenis argumentasi ini bersifat induktif, a posteriori dan berdasarkan evidensi. Struktur umum dari argumentasi masalah kejahatan probabilistis adalah sebagai berikut(Meister, 2009: 135):
1.   Jika Tuhan eksis, maka Tuhan adalah Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu.
2.   Sesuatu yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu dapat menciptakan dunia yang secara logis tepat.
3.  Jika Sesuatu yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu itu menciptakan suatu dunia, maka dunia yang diciptakan adalah dunia yang terbaik di antara kemungkinan yang ada.
4. Sesuatu yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu itu memiliki kekuatan, pengetahuan dan kehendak untuk mencegah kejahatan dan penderitaan di dalam dunia paling baik dari semua kemungkinan dunia yang dapat diciptakannya.
5.   Oleh karena itu, adalah mustahil bagi dunia yang eksis (dalam hal ini dunia kita) yang dipenuhi dengan kejahatan yang besar dan luar biasa, adalah dunia yang terbaik di antara dunia ciptaannya.
6.    Oleh karena itu, adalah mustahil bagi Tuhan, yang disebut Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu itu, untuk eksis.

            c. Secara eksistensial
Masalah kejahatan secara eksistensial cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu disebabkan karena sangat berhubungan dengan perasaan. Secara eksistensial, masalah kejahatan berhubungan dengan masalah keagamaan, moral, pendampingan, psikologi dan emosional. Hal sederhana yang dapat dikatakan dari itu adalah bahwa kejahatan secara eksistensial dapat membawa pada ketidakpercayaan kepada Tuhan atau kepada suatu agama secara umum (Meister, 138).

2. Teisme dalam pandangan Filsafat Proses (Teisme Proses)
Dari penjelasan teoretis tentang masalah kejahatan di atas, maka ada banyak pendekatan dan argumentasi yang dikemukakan untuk membela teisme oleh para filsuf. Pendekatan kehendak bebas dan teodise adalah yang biasa dikemukakan oleh para pemikir filsafat agama.
Pendekatan yang digunakan oleh penulis di sini adalah teodise proses yang berakar pada filsafat proses, dikembangkan menjadi teologi proses. Oleh karena itu, sebelum masalah kejahatan dan kemahakuasaan Tuhan dideskripsikan dalam perspektif teodise proses, hal utama yang penting dikemukakan adalah tentang teisme dalam pandangan filsafat proses. Dari sekian literatur, hal itu dikenal dengan sebutan teisme proses (process theism) (Meister, 2009: 142; Stanford Encyclopedia of Philosophy).
Teisme dalam pandangan tradisional secara metafisik terbagi dalam dua level. Level ciptaan atau natural adalah level di mana semua ciptaan saling berinteraksi menurut kemampuan interaksi dan aturan alam yang berlaku. Level lainnya adalah Tuhan dan/atau entitas supernatural lainnya. Intervensi dari level Tuhan ke dalam level ciptaan disebut sebagai mujizat. Disebut mujizat karena intervensi itu datang dari level lain dan merupakan peristiwa supernatural, bukan natural (Keller, 2007: 136).
Teisme proses secara metafisik berbeda dengan teisme tradisional. Dalam teisme proses, yang disebut sebagai Tuhan dan ciptaan berada pada satu level yang sama. Untuk memahami mengapa sampai secara metafisik dalam teisme proses Tuhan dan ciptaan berada pada level yang sama, maka perlu dilihat pemikiran tentang filsafat proses atau filsafat organisme dari Whitehead.
Dalam perspektif Whitehead, dunia dibentuk bukan berdasarkan oleh sesuatu (a thing), tetapi oleh peristiwa (happenings) yang disebutnya sebagai entitas aktual (actual entity) (Berthold, 2004: 80). Entitas aktual atau juga disebut sebagai actual occasions adalah unsur terakhir/terkecil yang terbayangkan yang membentuk dunia. Tuhan adalah entitas aktual, demikian juga unsur yang paling remeh di dalam ruang hampa jauh di sana. Walaupun berbeda dalam gradasi kepentingan dan fungsi, namun secara prinsipil, semua itu berada dalam level yang sama (Whitehead, 1929: 23).   
Walaupun berada pada level yang sama, Whitehead membedakan actual occasions dalam empat taraf, yaitu: pertama, adalah actual occasions yang terdapat dalam ruang hampa; kedua, adalah actual occasions yang merupakan momen di dalam sejarah-hidup benda-benda tidak hidup, seperti yang disebutnya sebagai elektron atau proton dan benda-benda primitif lainnya; ketiga, adalah actual occasions yang merupakan momen di dalam sejarah-hidup benda-benda hidup; keempat, adalah actual occasions yang merupakan momen di dalam sejarah-hidup benda-benda hidup dengan pengetahuan sadar (Hadi, 1996: 188).
Setiap kenyataan dalam perspektif Whitehead adalah proses perpaduan yang melibatkan dua kutub, yaitu fisik dan mental. Kutub fisik merupakan kemampuan kenyataan yang sedang dalam proses pembentukkan diri untuk menangkap warisan atau pengaruh yang dihasilkan oleh pelbagai pengada di seluruh dunia yang telah selesai di dalam pembentukkan dirinya. Kutub mental merupakan kemampuan kenyataan baru yang sedang dalam proses pembentukkan diri untuk menginterpretasikan menilai dan menyusun tawaran-tawaran yang ditangkap oleh kutub fisik kemudian disusun sesuai dengan citra diri atau subjective aimnya. Hubungan antara semua itu tentu bersifat dinamis dan selalu berubah demi kepentingannya. Peranan dari kutub fisik dan mental biasanya tidak seimbang karena tergantung dari taraf kenyataan. Semakin tinggi taraf kenyataan, maka semakin kecil peran kutub fisik dan semakin besar peran kutub mental. Namun demikian, taraf lebih tinggi selalu mengandaikan taraf yang lebih rendah. Taraf yang lebih rendah tidak harus mengandaikan taraf yang lebih tinggi. Pembagian taraf-taraf kenyataan itu adalah taraf anorganik, taraf vegetative, taraf sensitive dan taraf rasional. Ketika tiba pada taraf rasional, maka yang penting diperhatikan adalah pengambilan keputusan. Semua taraf itu menuju pada pembentukkan diri pengada aktual. Proses pembentukkan diri pengada aktual itu sendiri dibagi menjadi empat, yaitu tahap datum atau pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap kepenuhan diri dan tahap keputusan. Pada tahapan akhir itu, pengada aktual dibahasakan Whitehead sebagai superjek (yang dilemparkan melampaui), yang menunjuk pada kenyataan bahwa suatu peristiwa atau benda merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai yang ditawarkan oleh seluruh entitas aktual yang telah menyelesaikan pembentukkan dirinya (Hadi, 74-5).
Dalam kerangka penjelasan di atas, perlu juga dimengerti tentang ojek abadi sebagai “hal-hal yang melulu merupakan kemungkinan bagi determinasi khusus kenyataan, atau bentuk-bentuk ketertentuan”. Ketertentuan yang dimaksudkan adalah ketertentuan entitas aktual. Artinya, suatu entitas aktual memuat sejumlah objek abadi yang terbatas (Hadi, 189-90).
Bila bagi entitas aktual selain Tuhan proses pembentukkannya melibatkan kutub fisik dan mental, maka bagi Tuhan sebagai entitas aktual, Whitehead membahasakannya dengan consequent nature dan primordial nature. Tuhan kemudian dimengerti sebagai entitas aktual yang memiliki kodrat khusus. Tuhan dalam hakikat primordialNya merupakan realisasi tak terbatas dari kekayaan kemungkinan yang absolut. Tuhan dalam pengertian itu dilihat dalam abstraksi lepas dari interaksi-Nya dengan entitas-entitas aktual di dalam dunia nyata. Tuhan dalam hakikat consequentNya dapat dimengerti sebagai prehensi dari proses aktual dalam dunia. Prehensi dalam bahasa Whitehead adalah kegiatan mengambil atau mencerap unsur-unsur dari lingkungan dalam proses pembentukkan diri setiap entitas aktual. Disebut sebagai consequent karena hakikat itu tergantung pada keputusan-keputusan entitas aktual bukan Tuhan lainnya. Kegiatan konseptual Tuhan adalah tindakan kreatif bebas yang hanya memerlukan objek-objek abadi sebagai datanya. Kegiatan konseptual itu adalah untuk menentukan relevansi objek-objek abadi bagi setiap entitas aktual di dalam konkresinya (perasaan tumbuh bersama untuk menjadi ada yang objektif) (Hadi: 191-2).  
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa setiap entitas aktual selalu dimulai dengan upaya pengumpulan data dari masa lalu. Data masa lalu itu bersumber dari entitas aktual masa lalu dan dari Tuhan yang juga adalah entitas aktual. Namun entitas aktual di masa lalu dan Tuhan memberikan kontribusi yang berbeda bagi pembentukkan entitas aktual baru. Tiap entitas aktual menjadi data yang nantinya akan ditangkap, diolah dan dipilih dalam pembentukkan entitas aktual baru. Tuhan menentukan kemungkinan atau relevansi bagi objek-objek abadi untuk setiap entitas aktual baru. Ketika setiap entitas telah menjadi ada yang objektif, maka itu adalah keputusan untuk menjadi terlepas dari semua kemungkinan kemenjadiannya. Kontribusi Tuhan tidak membatasi keputusan meng-ada-nya suatu entitas aktual, tetapi menyokong keseluruhan keteraturan alam, juga menyediakan sumber-sumber baru bagi sokongan keteraturan itu (Keller, 2007: 136-8).

3.Kejahatan dan Kemahakuasaan Tuhan dalam perspektif Teodise Proses
Dalam bacaan singkat tentang teisme proses di atas, jelas bahwa Tuhan bukanlah penentu absolut bagi keberadaan suatu entitas aktual. Dengan demikian, Tuhan bukanlah penentu bagi keberadaan kejahatan, apalagi harus mengatasi atau menguranginya. Keller (2007: 141) mengemukakan pemikiran teisme proses terkait dengan masalah kejahatan sebagai berikut: (1) Proses di dalam dunia sangat dipengaruhi oleh masa lalu dan tidak dipengaruhi oleh akibat apa yang akan terjadi atas manusia atau makhluk-makhluk lainnya. Kadang-kadang proses itu menjadi penderitaan bagi manusia dan makhluk lainnya; (2) Penderitaan terjadi karena makhluk berbeda dalam tujuan, berkompetisi mendapatkan sesuatu; (3) Ada kejahatan, dalam hal ini kejahatan moral, karena manusia tidak menyesuaikan keputusannya dengan daya pikat Tuhan yang tersedia demi keteraturan; (4) Sebagian orang pada waktu-waktu tertentu merasakan dorongan yang kuat untuk mencegah atau mengurangi kejahatan tertentu. Kadang-kadang dorongan itu menjadi semacam penggerak bagi gerakan yang lebih luas dan efektif untuk mengurangi kejahatan tertentu. Jadi, menurut Keller, teisme proses membimbing manusia untuk menduga-duga jenis-jenis penderitaan yang akan ditemu, sekaligus jenis-jenis tindakan yang perlu diputuskan untuk mencegah atau menguranginya. Dalam kerangka itu, teisme proses sangat percaya bahwa suatu dunia yang baik adalah mungkin dan yang perlu dilakukan adalah menemukan apa yang diberikan Tuhan, mengambil keputusan dan menjadi entitas aktual yang baik.

C. Penutup 

Dari paparan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu:
  1. Masalah kejahatan adalah realitas yang diperhadapkan kepada kita setiap hari. Dalam literatur-literatur filosofis, pada umumnya dikenal dua jenis masalah kejahatan, yaitu kejahatan alam (natural evil) dan kejahatan moral (moral evil). 
  2. Masalah kejahatan menjadi penting karena digunakan sebagai argumentasi yang kuat untuk menentang pendapat tentang keberadaan Tuhan. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan-pandangan teoretis tentang masalah kejahatan dalam hubungannya dengan keberadaan Tuhan, baik secara logis, evidensial maupun eksistensial. 
  3. Banyak pemikir filsafat agama telah mengemukakan pendapatnya tentang masalah kejahatan dan eksistensi Tuhan. Salah satunya adalah pendapat dari kaum teisme proses yang mendapatkan sandaran filosofisnya pada filsafat proses A.N. Whitehead. 
  4. Teisme proses adalah pemikiran yang menerima eksistensi Tuhan tetapi secara metafisik berbeda dengan teisme tradisional. Perbedaannya adalah bahwa Tuhan tidak ditempatkan pada level yang berbeda dengan makhluk lain dan dunia, tetapi pada level yang sama, yaitu sama-sama sebagai entitas aktual. 
  5. Entitas aktual adalah unsur terkecil yang terbayangkan yang membentuk dunia. Entitas aktual adalah pengada yang terdiri dari taraf-taraf tertentu dan pembentukkannya melalui proses tertentu hingga menjadi ada yang objektif


Share
Read more »

Tuesday, May 29, 2012

Pendidikan Kita (Tidak) Memerdekakan

Meskipun di setiap tahunnya bangsa kita memperingati hari pendidikan nasional, arah pendidikan nasional kita masih saja tidak jelas yang dituju. Centang perenang kebijakan pendidikan baik karena aktor maupun sistemnya membuat arah pendidikan kita tidak penah jelas yang mau dicapai. Akibatnya, bangsa ini kehilangan daya kreatifitasnya, karena miskin cita-cita dan gagasan. Politik tidak mampu lagi melahirkan gagasan besar untuk membangun sebuah cita-cita besar bagaimana membawa gerbang Indonesia menuju masa depan berperadaban.

Kita semua setuju bahwa pendidikan adalah untuk memerdekakan. Secara teoritik demikian. Tapi dalam praksisnya, sampai saat ini kita tak pernah sampai pada kesadaran bahwa pendidikan merupakan proses menjadikan manusia berpikir merdeka dan dengan demikian diikuti tindakan-tindakan yang mendukungnya. Alih-alih demikian, pendidikan kita tak pernah sampai pada proses pemerdekaan itu sendiri, melainkan sering justru menjadi belenggu.

Merdeka bukan berarti liar tanpa aturan atau tidak mau diatur. Berpikir merdeka dalam pengertian ini membuat manusia memiliki daya nalar yang kritis serta mampu menentukan pilihan dalam hidupnya. Di era globalisasi seperti sekarang, saya kira pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat oleh pancaindera. Pilihan ini tidak lagi digerakkan daya nalar yang sehat melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan inderawi belaka. Media iklan yang begitu dahsyat kerapkali membuat mata kita tidak lagi awas. Ini menciptkan mentalitas konsumtif: semua serba instan.

Budaya instan (siap saji) membuat manusia tidak lagi berpikir jangka panjang. Kebijakan pendidikanpun terpenjara dalam kurungan budaya instan. Hemat saya, pendidikan seperti ini amat berbahaya bagi masa depan bangsa ini. Cita-cita pendidikan yang mencerdaskan rakyat hanyalah angan-angan saja.

Untuk menjadikan bangsa ini cerdas diperlukan politik pendidikan yang bervisi jelas, yaitu: memanusiakan manusia dan menjadikannya sebagai pribadi merdeka. Merdeka dalam arti yang mendalam, yaitu membuat orang tidak tergantung kepada hal yang melekat dalam dirinya. Kelekatan akan harta benda serta jabatan membuat orang tidak merdeka secara mendasar.

Kemerdekaan membuat manusia memiliki keluhuran budi serta kemampuan merasakan derita orang lain. Kemerdekaan akan membuat manusia Indonesia tidak hanya berpikir bagi dirinya sendiri. Prinsip dasar pendidikan adalah melahirkan manusia untuk belajar berbagi kepada sesama. Prinsip itu dijabarkan dalam proses menjadi manusia merdeka. Manusia yang berani meloncat dari pemenuhan kebutuhan akan dirinya sendiri menuju pada empati dan membantu orang lain. Proses ini bisa dilampaui bila ada kesadaran bersama bahwa kesejahteraan harus diraih untuk semuanya. Jadi pendidikan bukan untuk melahirkan manusia dengan karakter individualistik.

Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, pendidikan kita tidak mengajarkan bagaimana jurang stratifikasi sosial itu dihentikan dan setiap murid bisa mendapatkan perlakuan yang sama dan wajar. Pendidikan kita jelas-jelas mengajarkan bagaimana diskriminasi dilakukan.

Ruang publik kita hanya diisi oleh kaum petualang yang menggunakan gelar hebat tapi tidak ada isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Tetapi realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Ini terjadi karena kita sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.

Akar persoalannya bisa dilacak, yaitu pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan di subordinasikan dalam kekuasaan politik, dan menghasilkan manusia yang hanya pamdai ikut-ikutan. Mereka bagaikan robot yang dikendalikan oleh remote control, yaitu pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Ini membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk dan pedoman dari “atas”. Kreativitasnya minim.

Akibatnya birokrasi menjadi lambat dalam merespon perubahan. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama. Di mana kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan oleh sistem penyeragaman. Ini membuat gerbang reformasi sampai sekarang terseok-seok, yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk merespon perubahan yang begitu cepat.

Dibutuhkan revolusi pendidikan
Selama revolusi pendidikan tidak dilakukan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dilakukan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yaitu hanya mengejar-ngejar pangkat, gelar, kedudukan, tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusianya. Dengan mengabaikan hal ini, berarti pendidikan hanya sekadar transfer ilmu belaka, akibatnya lepas dari tuntutan mentransformasikan nilai-nilai moralitas.

Mengutip Freire, pendidikan yang memerdekakan dan memanusiakan manusia hendaknya tertuju untuk menggugah kesadaran pelaksanaan metode pendidikan yang bukan saja membebaskan tetapi yang terpenting kembali memanusiakan manusia, menghilangkan jejak dehumanisasi yang merasuki dunia pendidikan kita. Bila pemerdekaan sudah tercapai, pendidikan menurut Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua.***
syamsul kurniawan
Pemerhati Pendidikan, Sosial, dan Keagamaan. Tinggal di Pontianak.

Share
Read more »

Monday, May 28, 2012

sepuluh Besar Negara yang Punya Suporter Fanatik

Banyak yang bilang kalau supporter adalah pemain ke 12 dalam suatu tim Sepak bola. Hal ini memang bukan tanpa alasan, karna supporter adalah elemen yang selalu memberikan suntikan semangat dan motivasi bagi para pemain yang sedang berlaga. Oleh karna itu maka tak heran jika kemenangan suatu tim biasanya lebih banyak diraih di kandang sendiri.
Para supporter sepak bola itu sangat total dalam mendukung tim kesayangan mereka, bahkan tak jarang ada yang sampai mau berkorban nyawa hanya untuk mendukung tim kesayanganya. hampir semua supporter di seluruh dunia ini pasti mempunyai rasa loyal dan fanatik, tapi tahukah kamu supporter dari negara manakah yang mendapat predikat sebagai supporter sepak bola paling fanatik,?
 
berikut adalah daftar 10 supporter sepak bola paling fanatik di Dunia (urutan dari yang terbawah) :

10. Jerman
 suporter timnas Jerman

Salah satu negara dengan sepak bola yang maju ini mempunyai banyak supporter yang sangat fanatik. Banyak supporter yang rela untuk berpetualang berkeliling negara jerman hanya untuk mengikuti tour musiman tim idola mereka. tingkat loyalitas mereka sangat tinggi, bahkan presentase rata-rata kepadatan stadion bisa mencapai 85%. basis supporter fanatik Jerman adalah Bayern Munich dan Hertha Berlin.
 munchener

9. Jepang
 suporter Timnas Jepang

Semenjak sukses menyelenggarakan piala dunia 2002, animo masyarakat pada pertandingan sepakbola di jepang meningkat tajam. hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan rata-rata kepadatan stadion dari 80% menjadi 86,6%. Supporter jepang yang paling dikenal fanatik adalah supporter tim Gamba Osaka, mereka terkenal sebagai supporter yang berani mati demi untuk mendukung super Gamba.

 Fans gamba osaka


8. Spanyol

suporter timnas Spanyol

Sebagai satu dari tiga negara utama sepak bola eropa, spanyol mempunyai tim-tim yang tangguh dan berkualitas, rivalitas yang tinggi antar tim juga berimbas pada makin meningkatnya tingkat loyalitas antar supporter tim. rata-rata kepadatan stadion di spanyol mencapai 87%. basis supporter fanatik di spanyol adalah valencia, Barcelona, Real Madrid, dan atletico Madrid

Madridista
 
7. Belanda


suporter Timnas Belanda
Gaya sepak boal Total Football yang diterapkan di Belanda ternyata juga diimbangi dengan dukungan dukungan supporter sepakbola belanda yang sangat Total. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata kepadatan stadion yang mencapai 89%. dan Basis supporter fanatiknya adalah Ajax Amsterdam.


Suporter Ajax Amsterdam

6. Meksiko
suporter timnas meksiko

Salah satu kekuatan sepakbola benua amerika ini memang dikenal mempunyai banyak supporter fanatik. dan salah satu yang unk dari mereka adalah mereka selalu menampakkan identitas ke-Mexico-annya dalam mendukung tim kesayangan mereka. rata-rata kepadatan stadion mencapai 90%. Basis supporter fanatiknya adalah Chivas Guadalajara.

Chivas Guadalajara

5. Italia
suporter timnas Italia

Di Italia, fanatisme supporter memang sangat tinggi. supporter italia dikenal sebagai supporter yang keras, bahkan hampir tiap klub mempunyai supporter garis keras (ULTRAS), yang biasanya selalu total dalam mendukung tim. rata-rata kepadatan stadionpun mencapai 93%. basis supporter fanatiknya adalah Roma, Juventus, serta Milan dan Inter Milan.

milanisti

4. Brazil

suporter timnas Brazil

Negara yang dikenal sebagai pemasok pemain sepakbola terbesar di Dunia ini adalah salah satu negara yang mempunyai supporter sepakbola yang fanatik. sudah tak terhitung berapa nyawa yang melayang karna tawuran antar supporter di liga Brazil. supporter Brazil dikenal sangat loyal pada tim. rata-rata kepadatan Stadion bahkan bisa mencapai 93%. Basis supporter fanatiknya adalah Sao Paolo FC.

Sao Paolo



3. Indonesia

Suporter Timnas Indonesia
suporter timnas Indonesia
Boleh dibilang, inilah salah satu negara yang paling banyak menelan korban tawuran antar supporter di liga sepakbola. Rasa fanatisme yang berlebihan ini kadang justru berdampak negatif. Bahkan franz Beckenbauer pun sampai kaget setelah melihat video tawuran supporter Indonesia. Ia mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai supporter terloyal. Dan hal itu dibuktikan dengan tingginya angka rata-rata kepadatan stadion di indonesia yang bisa mencapai 96 %. Basis supporter fanatik Indonesia adalah Arema, Persebaya, Persib, PSIS, Persipura, dan PSIM

Viking
Aremania
Passopati
The Superman

2. Argentina


suporter timnas Argentina
Loyalitas supporter Argentina dalam mendkung tim idola mereka memang tak perlu diragukan lagi. para supporter sudah menganggap kemenangan tim sebagai harga mati. maka tak heran jika mereka selalu total dalam mendukung tim mereka untuk memperoleh kemenangan. sama seperti Indonesia, di Argentina juga banyak terjadi perkelahian antar supporter yang menyebebkan korban jiwa. Tingkat rata-rata kepadatan stadion bise mencapai 97%. Basis suporter fanatiknya adalah River Plate dan Boca Junior


Suporter River Plate

1. Inggris


Tak dapat dipungkiri lagi, Inggris lah negara dengan suporter paling fanatik di Dunia. para Supporter tak henti-hentinya menyanyikan lagu kebangsaan tim mereka sepanjang 90 menit untuk mendukung tim mereka. Bahkan di tingkat negara, Hooligan Inggris juga dikenal sebagai supporter paling fanatik. rata-rata kepadatan stadion bisa mencapai 99%. Dan basis supporter fanatik di Inggris adalah Liverpool dan Manchester United.


 
liverpudlian


Share
Read more »

Sunday, May 27, 2012

SERBA SERBI SUKU DI MALUKU

Maluku adalah salah satu wilayah NKRI yang terletak di bagian Indonesia Timur. Maluku yang juga dikenal dengan sebutan Moluccas ini beribukota di Ambon. Namun, pada 1999, terjadi pemekaran atau pengembangan pada sebagian wilayah Maluku menjadi provinsi Maluku Utara yang beribukota di Sofifi Kecamatan Oba Utara.
Berkerabat dengan Masyarakat Hawai
suku di maluku memiliki garis tradisi yang kuat dengan ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Fiji atau bangsa-bangsa di kepulauan Pasifik. Hal ini terlihat pada karakter bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, alat musik ukulele yang terdapat juga di masyarakat Hawai.
Ciri suku bangsa di Maluku ini sangat khas dengan warna kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan tubuh yang atletis. Hal ini disebabkan suku Maluku termasuk suku kepulauan yang sering berlayar dan berenang.
Beragam Bahasa
Mengingat pulau Maluku terdiri dari kepulauan, suku bangsa Maluku tersebar ke berbagai wilayah di pulau-pulau tersebut. Uniknya, setiap pulau memiliki bahasa daerahnya sendiri. Terdapat sekitar 132 bahasa yang digunakan di kepulauan Maluku, sedangkan bahasa yang digunakan secara umum di provinsi Maluku adalah bahasa Melayu Ambon.
Untuk wilayah Pulau Seram, biasa menggunakan bahasa Wamale. Bahasa Wamale inilah yang digunakan oleh suku Wamale yang tinggal di wilayah Seram Barat. Bahasa Wemale ini jika dicermati merupakan bagian dari bahasa melayu-Polinesia.
Suku-suku Besar di Maluku
Suku Wemale ini hidup dengan bercocok tanam, dengan bahan makanan pokok adalah sagu. Suku ini juga dikenal sangat mahir dalam seni berburu di hutan untuk mengumpulkan makanannya.
Kaum lelaki di suku Wemale memiliki kewajiban untuk melibatkan diri dalam perang melawan kelompok-kelompok yang menganggu kehidupan suku mereka, sedangkan kaum perempuan di suku Wemale bertugas mengumpulkan dan mengolah hasil alam untuk keluarga mereka.
Ketika mencari hasil hutan, mereka biasa menggunakan bakol, semacam keranjang khas suku Wemale yang diikatkan ke pinggang dengan rotan beserta pisau panjang.
Suku Wemale juga memiliki rumah adat yang khas, terbuat dari kayu-kayu dan dedaunan yang disusun secara terampil dan difungsikan untuk menyimpan hasil hutan, selain sebagai tempat istirahat yang nyaman bagi suku Wemale.
Perayaan adat juga biasa dilakukan anak-anak perempuan yang memasuki usia akil balig. Namun, banyak dari orang-orang Wemale yang sekarang ini mengalami perubahan karena terpengaruh modernisme dan konsumerisme yang mengacaukan tatanan adat tradisi suku Wemale.
Selain suku Wemale, ada beberapa suku lain yang terdapat di Maluku, seperti suku Alune, suku Buru di Kepulauan Buru, Suku Banda, suku Nuhu Iut, suku Roa, suku Tayanda dan kelompok Kur yang tersebar dipulau-ulau kecil di wilayah kepulauan Maluku. Suku-suku ini bermatapencaharian utama sebagai nelayan. Ada juga yang berkebun, seperti pala, kopi, sagu dan juga kelapa

Anne Ahira.com
Share
Read more »

Saturday, May 26, 2012

Tak ada yang mudah,tapi tak ada yang tak mungkin



Malam yang tenang dan udara sejuk di kompleks pendidikan Athira Makassar. Para Mahasiswa asal Negeri Iha Ulupia  yang melanjutkan studi di berbagai Universitas dan Sekolah Tinggi di Makassar  berantusias untuk membahas AD dan ART Organisai dalam Musyawarah Besar pertamanya di hari sabtu  dan minggu tanggal,14 dan 15 April 2012

Musyawarah yang rencananya di Buka Oleh Sesepuh dari negeri tercinta itu sempat tertunda beberapa jam karena menunggu kehadiran salah satu saudara yang harus jauh jauh datang dari lokasi prakteknya di luar kota, akan tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat dari teman-teman untuk melaksanakan Musyawarah Besar. Maklum juga bahwa kegiatan ini merupakan Musyawarah Besar pertama yang dilakukan oleh kami karena organisasi ini baru terbentuk tahun ini.
Salut kepada ketua panitia pelaksana Abd. K Luhulima yang mengemban tugas sangat berat dalam menentukan substansi kegiatan. Namun,dibantu dengan teman-teman yang komitmennya tidak diragukan lagi akhirnya tercipta sebuah tema,”PROSES REKONTRUKSI PARADIGMA ORGANISASI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS KADER SEBAGAI INSTRUMEN PENGABDIAN.” Dengan Harapan agar himpunan ini mampu mengisi sebuah peradaban di Bumi Norwaito Amalatu  sebagai bentuk pengabdian diri kepada tanah leluhur.

Musyawarah Besar perdana yang menghasilkan  nama PERMATA –AIPIA ini juga dihadiri oleh Abdul Muis Pikahulan SH. Putra Ama Iha yang merupakan salah satu jebolan PMII, turut memberi inspirasi tersendiri. Pengalaman-pengalaman dari sdr. Abdul Muis Pikahulan SH  yang begitu mengesankan,karena selain jebolan PMII, beliau juga pernah menjadi bagian dari unsur pimpinan di Ikatan Pelajar Mahasiwa Maatita Lounusa (IPMAIL) yang merupakan Organisasi Paguyuban Norwaito di Maluku. Wow,sebuah prestasi yang begitu besar tentunya. Beliau tidak hanya bercerita saja,namun seakan-akan mampu menyulut api semangat teman-teman untuk terus berkarya dan meraih cita-cita. “Mempertahankan lebih sulit daripada meraih. Maka setelah meraih 1 mimpi,raihlah mimpimu yang lain yang lebih tinggi.” Begitulah salah satu ucapan beliau
Pemilihan Ketua baru PERMATA-AIPIA merupakan bagian penting dalam Musyawarah ini,dari beberapa calon kandidatnya. Sdr. M. J. Kaisupy, mahasiswa Fakultas Tekhnik Jurusan Sipil Universitas Hassanudin terpilih menjadi Ketua PERMATA –AIPIA Makassar 2012-2013

Terimakasih atas sumbangsih dari teman-teman panitia dan semua peserta. Kegiatan ini takkan terlaksana tanpa semangat dan kinerja kita semua. Mohon maaf atas segala sikap dan kata yang tidak berkenan.
Tak ada yang mudah,tapi tak ada yang tak mungkin. Kembali kita kobarkan api dalam sanubari untuk meniti hari demi hari dan mewujudkan mimpi. Esa mi muo’o esa...!!!!!

Share
Read more »

BUKAN BASA BASI


Gak merokok bukan berarti gak gaul, teman teman pernah liat iklan rokok A Mild yang  tage linenya “Bukan Basa Basi” kan? Rokok Brand ini slelalu nyentrik dengan kata kata yang maknanya lain dari yang lain.

Buat  teman teman yang gak merokok, A Mild membuat sebuah screensaver yang berisi banyak kata-kata luar biasa dan nyeleh disertai dengan sistem waktu dan penanggalan. Screensaver dari A Mild inspiratif ini bisa teman teman download gratis di sini
Share
Read more »

PEREMPUANKU

Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330)

selengkapnya Di sini
Share
Read more »

Tuesday, May 22, 2012

Sosialisme dan Agama

Vladimir Lenin (1905)
 
  Masyarakat yang ada saat ini sepenuhnya didasarkan atas eksploitasi yang dilakukan oleh sebuah minoritas kecil penduduk, yaitu kelas tuan tanah dan kaum kapitalis, terhadap masyarakat luas yang terdiri atas kelas pekerja. Ini adalah sebuah masyarakat perbudakan, karena para pekerja yang "bebas", yang sepanjang hidupnya bekerja untuk kaum kapitalis, hanya "diberi hak" sebatas sarana subsistensinya. Hal ini dilakukan kaum kapitalis guna keamanan dan keberlangsungan perbudakan kapitalis.
Tanpa dapat dielakkan, penindasan ekonomi terhadap para pekerja membangkitkan dan mendorong setiap bentuk penindasan politik dan penistaan terhadap masyarakat, menggelapkan dan mempersuram kehidupan spiritual dan moral massa. Para pekerja bisa mengamankan lebih banyak atau lebih sedikit kemerdekaan politik untuk memperjuangkan emansipasi ekonomi mereka, namun tak secuil pun kemerdekaan yang akan bisa membebaskan mereka dari kemiskinan, pengangguran, dan penindasan sampai kekuasaan dari kapital ditumbangkan. Agama merupakan salah satu bentuk penindasan spiritual yang dimanapun ia berada, teramat membebani masyarakat, teramat membebani dengan kebiasaan mengabdi kepada orang lain, dengan keinginan dan isolasi. Impotensi kelas tertindas melawan eksploitatornya membangkitkan keyakinan kepada Tuhan, jin-jin, keajaiban serta jang sedjenisnya, sebagaimana ia dengan tak dapat disangkal membangkitkan kepercayaan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Mereka yang hidup dan bekerja keras dalam keinginan, seluruh hidup mereka diajari oleh agama untuk menjadi patuh dan sopan ketika di sini di atas bumi dan menikmati harapan akan ganjaran-ganjaran surgawi. Tapi bagi mereka yang mengabdikan dirinya pada orang lain diajarkan oleh agama untuk mempraktekkan karitas selama ada di dunia, sehingga menawarkan jalan yang mudah bagi mereka untuk membenarkan seluruh keberadaannya sebagai penghisap dan menjual diri mereka sendiri dengaan tiket murah untuk menuju surga. Agama merupakan candu bagi masyarakat. Agama merupakan suatu minuman keras spiritual, di mana budak-budak kapital menenggelamkan bayangan manusianya dan tuntutan mereka untuk hidup yang sedikit banyak berguna untuk manusia.
Tetapi seorang budak yang menjadi sadar akan perbudakannya dan bangkit untuk memperjuangkan emansipasinya ternyata sudah setengah berhenti sebagai budak. Para buruh modern yang berkesadaran-kelas, digunakan oleh industri pabrik skala besar dan diperjelas oleh kehidupan perkotaan yang merendahkan kedudukan di samping prasangka-prasangka religius, meninggalkan surga kepada parra pastur dan borjuis fanatik, dan mencoba meraih kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri di atas bumi ini. Proletariat sekarang ini berpihak pada sosialisme, yang mencatat pengetahuan dalam perang melawan kabut agama, dan membebaskan para pekerja dari keyakinan terhadap kehidupan sesudah mati dengan mempersatukan mereka bersama guna memperjuangkan masa sekarang untuk kehidupan yang lebih baik di atas bumi ini.
Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi. Dalam kata-kata inilah kaum sosialis biasa menyatakan sikapnya terhadap agama. Tetapi makna dari kata-kata ini harus dijelaskan secara akurat untuk mencegah adanya kesalahpahaman apapun. Kita minta agar agama dipahami sebagai sebuah persoalan pribadi, sepanjang seperti yang diperhatikan oleh negara. Namun sama sekali bukan berarti kita bisa memikirkan agama sepanjang seperti yang diperhatikan oleh Partai. Sudah seharusnya agama tidak menjadi perhatian negara, dan masyarakat religius seharusnya tidak berhubungan dengan otoritas pemerintahan. Setiap orang sudah seharusnya bebas mutlak menentukan agama apa yang dianutnya, atau bahkan tanpa agama sekalipun, yaitu, menjadi seorang atheis, dimana bagi kaum sosialis, sebagai sebuah aturan. Diskriminasi diantara para warga sehubungan dengan keyakinan agamanya sama sekali tidak dapat ditolerir. Bahkan untuk sekedar penyebutan agama seseorang di dalam dokumen resmi tanpa ragu lagi mesti dibatasi. Tak ada subsidi yang harus diberikan untuk memapankan gereja, negara juga tidak diperbolehkan didirikan untuk masyarakat religius dan gerejawi. Hal-hal ini harus secara absolut menjadi perkumpulan bebas orang-orang yang berpikiran begitu, asosiasi yang independen dari negara. Hanya pemenuhan seutuhnya dari tuntutan ini yang dapat mengakhiri masa lalu yang memalukan dan keparat, saat gereja hidup dalam ketergantungan feodal pada negara, dan rakyat Rusia hidup dalam ketergantungan feodal pada gereja yang mapan, ketika di jaman pertengahan, hkum-hukum inquisisi (yang hingga hari ini masih mendekam dalam hukum-hukum pidana dan pada kitab undang-undang kita) ada dan diterapkan, menyiksa banyak orang untuk keyakinan maupun ketidakyakinannya, memperkosa hati nurani orang-orang, dan menggabungkan pemerintah yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dengan dispensasi ini dan itu yang membiuskan, oleh lembaga gereja. Pemisahan yang tegas antara lembaga Negara dan Gereja adalah apa yang dituntut proletariat sosialis mengenai negara modern dan gereja modern.
Revolusi Rusia harus memberlakukan tuntutan ini sebagai sebuah komponen yang diperlukann untuk kemerdekaan politik. Dalam hal ini, revolusi Rusia berada dalam sebuah posisi yang menyenangkan, karena ofisialisme yang menjijikkan dari otokrasi feodal polisi berkuda telah menimbulkan ketidakpuasan, keresahan, dan kemarahann bahkan di antara para pendeta. Serendah-rendahnya dan sedungu-dungunya pendeta Orthodoks Rusia, mereka pun sekarang telah dibangunkan oleh guntur keruntuhan tatanan abad pertengahan yang kuno di Rusia. Bahkan mereka yang bergabung dalam tuntutan untuk kebebasan, memprotes praktek-praktek birokratik dan ofisialisme, hal memata-matai polisiyang sudah ditetapkan sebagai "pelayan Tuhan". Kita kaum sosialis harus memberikan dukungan kita pada gerakan ini, mendukung tuntutan para pendeta yang jujur dan tulus hati menuju ke tujuan mereka, membuat mereka meyakini kata-kata mereka tentang kebebasan, menuntut bahwa mereka harus memutuskan semua hubungan antara lembaga keagamaan dan kepolisian. Seperti juga bagi Anda yang tulus hati, di tiap kasus Anda harus mempertahankan pemisahan antara Gereja dengan Negara dan sekolah dengan Agama, sepanjang agama sudah dinyatakan secara tuntas dan menyeluruh sebagai urusan pribadi. Atau Anda tidak menerima tuntutan-tuntutan konsisten tentang kebebasan ini, dalam kasus dimana Anda tetap terpikat dengan tradisi inkuisisi, dalam kasus dimana Anda tetap berpegang teguh dengan kerja pemerintahan yang enak dan pendapatan dari pemerintah, dalam kasus dimana Anda tidak percaya terhadap kekuatan spiritual dari senjatamu dan melanjutkan untuk mengambil suap dari negara. Dan dalam kasus itulah para pekerja berkesadaran-kelas di seluruh Rusia menyatakan perang tanpa ampun terhadap Anda.
Sepanjang yang diperhatikan kaum sosialis proletariat, agama bukanlah sebuah persoalan pribadi. Partai kita adalah sebuah asosiasi dari para pejuang maju yang berkesadaran kelas, yang bertujuan untuk emansipasi kelas pekerja. Sebuah asosiasi seperti itu tidak dapat dan tidak seharusnya mengabaikan adanya kekurangan kesadaran- kelas, ketidaktahuan atau obscurantisme (isme kekaburan, ketidakjelasan) dalam bentuk keyakinan-keyakinan agama. Kita menuntut pembinasaan sepenuhnya terhadap Gereja dan dengannya mampu menerangi kabut religius yang begitu ideologis dan dengan sendirinya senjata ideologis, dengan sarana pers kita dan melalui kata dari mulut. Namun kita mendirikan asosiasi kita, Partai Buruh Sosial-Demokrat Rusia, tepatnya untuk sebuah perjuangan melawan setiap agama yang menina bobokan para pekerja. Dan bagi kita perjuangan ideologi bukan sebuah urusan pribadi, namun persoalan seluruh Partai, seluruh proletariat.
Jika memang demikian, mengapa kita tidak menyatakan dalam Program kita bahwa kita adalah atheis? Mengapa kita tidak melarang orang-orang Kristen dan para penganut agama Tuhan lainnya untuk bergabung dalam partai kita?
Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memberikan penjelasan tentang perbedaan yang cukup penting dalah hal persoalan agama yang ditampilkan oleh para demokrat borjuis dan kaum Sosial-Demokrat.
Program kita keseluruhannya berdasar pada cara pandang yang ilmiah, dan lebih jauh materialistik. Oleh karenanya, sebuah penjelasan mengenai program kita secara amat perlu haruslah memasukkan sebuah penjelasan tentang akar-akar historis dan ekonomis yang sesungguhnya dari kabut agama. Propaganda kita perlu memasukkan propaganda tentang atheisme; publikasi literatur ilmiah yang sesuai – dimana pemerintah feodal otokratis hingga saat ini telah melarang dan menyiksa – yang pada saat ini harus membentuk satu bidang dari kerja partai kita. Kita sekarang mungkin harus mengikuti nasehat yang diberikan Engels kepada kaum Sosialis Jerman: menterjemahkan dan menyebarkan literatur intelektual Pencerahan Perancis abad ke-18 dan kaum atheis. [36]
Namun bagaimanapun juga kita tidak boleh dan tidak patut untuk jatuh dalam kesalahan menempatkan persoalan agama ke dalam sebuah abstrak, kebiasaan jang idealistik, sebagai sebuah masalah "intelektual" yang tak berhubungan dengan perjuangan kelas, seperti yang tidak jarang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal yang ada di antara kaum borjuis. Tentulah bodoh untuk berpikir bahwa, dalam sebuah masyarakat yang berdasar pada penindasan tanpa akhir dan merendahkan massa pekerja, prasangka-prasangka agama bisa disingkirkan hanya melalui metode propaganda melulu. Inilah kesempitan cara berpikir borjuis yang lupa bahwa beban agama yanng memberati kehidupann manusia sebenarnya tak lebih adalah sebuah produk dan refleksi beban ekonomi yang ada di dalam masyarakat. Tak satupun dari famplet khotbah, berabapun jumlahnya, dapat memberi pencerahan pada kaum proletariat, jika ia tidak dicerahkan dengan perjuangannya sendiri melawan kekuatan gelap dari kapitalisme. Persatuan dalam perjuangan revolusioner yang sesungguhnya dari kelas kaum tertindas untuk menciptakan sebuah sorgaloka di bumi, lebih penting bagi kita ketimbang kesatuan opini proletariat di taman firdaus surga.
Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kita tidak dan tidak akan menyatakan atheisme dalam program kita, itulah mengapa kita tidak akan dan tidak akan melarang kaum proletariat yang tetap memelihara sisa-sisa prasangka lama untuk menggabungkan diri mereka dengan Partai kita. Kita akan selalu mengkhotbahkan cara pandang ilmiah, dan hal itu essensial bagi kita untuk memerangi ketidakkonsistenan dari berbagai aliran "Nasrani". Namun bukan berarti bahwa pada akhirnya persoalan agama akan dikembangkan menjadi persoalan utama, sementara hal itu sudah tidak dipersoalkan lagi, atau bukan pula berarti bahwa kita akan membiarkan semua kekuatan dari perjuangan ekonomi dan politik revolusioner yang sesungguhnya untuk dipilah-pilah mengikuti opini tingkat ketiga ataupun ide-ide yang tidak masuk akal. Karena hal ini akan segera kehilangan semua arti penting politisnya, segera akan disapubersih sebagai sampah oleh perkembangan ekonomi.
Dimanapun kaum borjuis reaksioner hanya memperhatikan dirinya sendiri, dan sekarang sudah mulai memperhatikan dirinya di Rusia, dengan menggerakkan perselisihan agama – karenanya dalam rangka membelokkan perhatian massa dari problem-problem ekonomi dan politik yang demikian penting dan fundamental, pada saat ini diselesaikan dalam praktek oleh semua proletariat Rusia yang bersatu dalam perjuangan revolusioner. Kebijaksanaan revolusioner yang memecahbelahkan kekuatan kaum proletariat, dimana pada saat ini manifestasinya muncul dalam program Black-Hundred, mungkin besok akan menyusun bentuk-bentuk yang lebih subtil. Kita, pada setiap tingkat, akan melawannya dengan tenang, secara konsisten dan sabar berkhotbah tentang solidaritas proletarian dan cara pandang ilmiah – seorang pengkhotbah yang asing pada apapun hasutan-hasutan perbedaan sekunder.
Kaum proletariat reevolusioner akan berhasil dalam membentuk agama menjadi benar-benar urusan pribadi, sejauh yang diperhatikan oleh negara. Dan dalam sistem politik ini, bersih dari lumut-lumut abad pertengahan, kaum proletariat akan keluar dan membuka pertarungan untuk mengeliminasi perbudakan ekonomi, sumber yang murni dari segala omong kosong relijius manusia.

Dari V. I. Lenin, Collected Works, Edisi Bahasa Inggris yang ke-4, Progress Publishers, Moscow, 1972, Cetakan ke-3, halaman 83-87. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (1997)
Diedit oleh Anonim (Desember 1998)

Share
Read more »

Bale Ka Atas

 
abis baca komentar sadiki jua | biar katong baku kanal | salam hangat | par dong samua