1. Syafruddin Prawiranegara
Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara
(Banten, 28 Februari 1911 - 15 Februari 1989) adalah pejuang pada masa
kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai
Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda
saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.
Perjalanan hidup
Dua kali menjadi menteri keuangan, satu kali menteri kemakmuran, dan
satu kali wakil perdana menteri, Syafrudin Prawiranegara akhirnya
memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata,
tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik
mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya
pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok,
Jakarta.
"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin
menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi
takutlah kepada Allah," ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu
tentang aktivitasnya itu.
Namanya sangat populer pada 1950-an.
Pada Maret 1950, misalnya, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta,
ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga
nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu
dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin. Namun, Syafruddin juga yang
membentuk pemerintahan darurat RI, ketika Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Pulau
Bangka, 1948. "Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding
dengan Indonesia. Akhirnya, Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan
kembali ke Yogyakarta," tuturnya.
Di masa kecilnya akrab dengan
panggilan "Kuding", dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran
Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja
Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat
Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya
yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah
ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan
rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa
Timur.
Kuding,
yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki
cita-cita tinggi -- "Ingin menjadi orang besar," katanya. Itulah
sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum
Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia). Di tengah kesibukannya
sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat
menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur
utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Dari delapan anaknya,
Syafruddin mempunyai sekitar lima belas cucu. Cucunya ketiga belas lahir
di Australia sebagai bayi tabung pertama keluarga Indonesia, 1981.
Istrinya, Nyonya T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara, wanita kelahiran
Aceh, meninggal dunia pada Agustus 2006.
Biodata
* Pendidikan:
1. ELS (1925)
2. MULO,Madiun (1928)
3. AMS, Bandung (1931)
4. Rechtshogeschool, Jakarta (1939)
* Karir:
1. Pegawai Siaran Radio Swasta (1939-1940)
2. Petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942)
3. Pegawai Departemen Keuangan Jepang
4. Anggota Badan Pekerja KNIP (1945)
5. Wakil Menteri Keuangan (1946)
6. Menteri Keuangan (1946)
7. Menteri Kemakmuran (1947)
8. Perdana Menteri RI (1948)
9. Ketua Pemerintah Darurat RI (1948)
10. Wakil Perdana Menteri RI (1949)
11. Menteri Keuangan (1949-1950)
12. Gubernur Bank Sentral/Bank Indonesia (1951)
13. Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan & Pembangunan Manajemen (PPM) (1958)
14. Pimpinan Masyumi (1960)
15. Anggota Pengurus Yayasan Al Azhar/Yayasan Pesantren Islam (1978)
16. Ketua Korps Mubalig Indonesia (1984-1989)
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau Presiden sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 19 Desember 1948 - 13 Juli 1949
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 28 Februari 1911
Meninggal : 15 Februari 1989 (umur 77)
Suami/Istri : T. Halimah Syehabuddin Prawiranegara
Agama : Islam
2. Assaat
Mr. Assaat (18 September 1904 - 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang
Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Mr. Assaat dilahirkan di
dusun pincuran landai kanagarian Kubang Putih Banuhampu adalah orang
sumando Sungai Pua, menikah dengan Roesiah, wanita Sungai Pua di Rumah
Gadang Kapalo Koto, yang telah meninggalkan beliau pada 12 Juni 1949,
dengan dua orang putera dan seorang puteri.
Sekitar tahun
1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang
berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama
revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri
Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain
adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah
cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu
baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah
lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang
kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah
seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta
mempertahankan Republik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia
memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada
tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat
tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Ia tetap berdiri
pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia
terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari
tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Penjabat Presiden
RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Sebagai ilustrasi dapat
dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya
selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah.
Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (
kini Gedung Kesenian) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia
di Jl. Kramat Raya. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan
Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta.
Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke
Purworejo, Jawa Tengah. Ketika situasi Purworejo dianggap kurang aman
untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr.
Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk
menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya.
Diasingkan
Api revolusi mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 terus
menggelora. Belanda dengan kekuatan militernya melancarkan apa yang
mereka namakan Agresi Militer II. Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama
Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian di
asingkan di Manumbing di Pulau Bangka.
Rambutnya bertambah
putih, karena uban makin melebat sejak diasingkan di Manumbing dan Mr.
Assaat mulai memelihara jenggot. Assaat bukan ahli pidato, dia tidak
suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan bagi kepentingan perjuangan
semua dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang
teguh, itulah sebabnya dia disenangi dan disegani oleh kawan dan lawan
politiknya.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan
tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang
Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan
demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang,
panggil saja saya "Bung Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat
sebagai seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan
ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan
shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat
menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Latar belakang Mr. Assaat
Assaat belajar di sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya
ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Karena jiwanya
tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan
melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya
ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.
Ketika menjadi mahasiswa RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam
gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu
Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir
politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus
Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda
Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi
Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".
Dalam kedudukannya
sebagai mahasiswa, Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai
Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan
pemimpin Partindo seperti: Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir
Sjarifoeddin dll.
Kegiatannya di bidang politik pergerakan
kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda,
sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti
ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin
bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di
Belanda dia memperoleh gelar "Meester in de Rechten" (Mr) atau Sarjana
Hukum.
Praktek Advokat
Sebagai seorang non kooperator
terhadap penjajahan Belanda, sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr.
Assaat berpraktek sebagai advokat hingga masuknya Jepang tahun 1942. Di
zaman Jepang dia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga
Besar di Jakarta.
Dalam sejarah perjuangannya ikut menegakkan
Republik Proklamasi, beberapa catatan mengenai Assaat ialah: tahun
1946-1949 (Desember) menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat). Desember 1949 hingga Agustus 1950 menjadi
Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan terbentuknya
RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden
pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP
dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950 negara-negara bagian
RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI.
Selama memangku
jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada
di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan
Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah
Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik
Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru
besar UGM September 2004.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat
menjadi anggota parlemen (DPR-RI), sampai ia duduk dalam Kabinet Natsir
jadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet
Natsir bubar, kembali jadi anggota Parlemen, semenjak itulah Assaat
kurang terdengar namanya dalam bidang politik.
Pada tahun 1955
namanya muncul lagi di permukaan, sebagai formatur Kabinet bersama Dr.
Soekiman Wirjosandjojo dan Mr. Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta
sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terhembus angin politik begitu
kencang, daerah-daerah kurang puas dengan beleid (kebijakan)
pemerintahan Pusat. Daerah-daerah menyokong Bung Hatta, tetapi upaya
tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena formal politis waktu
itu, Parlemen menolaknya.
Menentang Komunis
Ketika
Demokrasi Terpimpin dicetuskan Soekarno, Assaat sebagai demokrat dan
orang Islam menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya,
tetapi yang ditentangnya politik Bung Karno yang seolah-olah memberi
angin pada Partai Komunis Indonesia.
Mr. Assaat saat itu
merasakan jiwanya terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah tak lain
dari diktator terselubung, ia selalu diintip oleh intel serta
orang-orang PKI. Kemudian dengan cara menyamar sebagai orang "akan
berbelanja" bersama dengan keluarganya naik becak dari Jl. Teuku Umar ke
Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan dengan naik becak menuju Stasion
Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang
ke Sumatera. Dia berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu Sumatra
Selatan sudah dibentuk "Dewan Gajah" yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Kol.
Simbolon mendirikan "Dewan Gajah" di Sumatera Utara, sementara Kol.
Sumual membangun "Dewan Manguni" di Sulawesi.
Akhirnya
dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang telah diselimuti
oleh PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia). Assaat yang ketika itu sudah tiba di Sumatera Barat
bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera,
setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr.
Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Akhirnya dia
ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani "hidup" di dalam
penjara "Demokrasi Terpimpin" selama 4 tahun dari tahun 1962-1966. Ia
baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya yang
sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk Mudo
diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan
semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Perdana menteri pertama Republik Indonesia atau Presiden Sementara Republik Indonesia
Masa jabatan : 27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950
Pendahulu : Soekarno
Pengganti : Soekarno
Lahir : 18 September 1904 Dusun Pincuran Landai,kanagarian Kubang Putih, Banuhampu, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 16 Juni 1976 (umur 71)
Suami/Istri : Roesiah
Agama : Islam
Source : Fcebook Indonesia Jaya
Share