Tidak
hanya soal budaya dan religiusitas, buku Beta Agama Noaulu menyingkap
sisi lain relasi negara dan agama tradisi. Buku ini setidaknya hadir
untuk mengirimkan dua pesan : membela agama tradisi dan menjewer kuping
negara.
Ditulis dalam delapan bagian yang menjadi isi buku, penulisnya M Azis Tunny mendeskripsikan dengan baik problema budaya dan religiusitas suku Noaulu, yang mendiami bagian selatan Pulau Seram. Noaulu berasal dari kata Noa, nama sungai, dan Ulu artinya kepala sungai. Noaulu artinya mereka yang mendiami hulu sungai Noa, di bagian Seram selatan.
Ungkapan agama Noaulu, adalah term yang paling tegas dalam buku ini. Karenanya Agil (sapaan Azis Tunny) dengan caranya men-declare judul bukunya : Beta Agama Noaulu. Ungkapan yang mungkin belum biasa, karena kita terbiasa mengenal dan menyebut Noaulu sebagai suku, bukan agama. Buku ini punya argumentasi yang cukup untuk memosisikan Noaulu sebagai agama, baik dari aspek religiusitas maupun hubungan-hubungan sosialnya.
‘Delapan bagian buku ini disajikan secara menarik: Agama Noaulu, Dicap Kafir dan Animisme, Potong Kepala Manusia, Ritual Menuju Kedewasaan, Jika Orang Noaulu Berdoa, Kampung Orang Mati, Sejarah Noaulu dan Sepa, Agama Leluhur Kian Terdesak, dan Noaulu di Mata Orang Muda.
Sebagai pembuka isi buku, bagian Agama Noaulu langsung menyoal relasi negara dan agama Noaulu. “Saban kali pelajaran agama, beta dan tamang-tamang dari kampung Noaulu disuruh ke luar kelas, karena agama kami tidak diajarkan di sekolah,” ujar Manioka Matoke, siswa kelas V SD Inpres Kilometer 12, Kecamatan Amahai.
Tuale Matoke (25) mengalami masalah diskriminasi yang lebih dalam. Saat SD dan SMP di raport agamanya Kristen. Sedang di bangku SMA tertulis di raport agamanya Islam. Dengan cara itu, Tuale dapat menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi. Dia pun tetap memiliki nilai agama. Saat mendaftar PNS di Kabupaten Maluku Tengah, Tuale menggunakan agama Hindu. Di akta kelahiran dan KTP-nya juga tertulis Hindu.
Tiga agama resmi itu, secara formil pernah menghiasi dokumen resmi Tuale. Namun dia tidak menganut satupun agama-agama itu. Karena tidak ada agama Noaulu yang diakui negara, Tuale memeluk tiga agama resmi negara itu dalam dokumen dan data dirinya selama perjalanan studi dan masuk tes CPNS. Tentunya cara itu dilakukan dengan sangat artifisial dan tidan imanen.
Bagian berikutnya, Dicap Kafir dan Anismisme, Agil mengutip ungkapan Tuale. “Orang bilang kami sembah patung, sembah pohon, sembah batu, nyatanya tidak. Kami percaya pada Upu Anahatana, Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar PNS di Kantor Camat Elapaputih, Maluku Tengah ini.
Bagi orang Noaulu, alam semesta dijaga oleh Upu sebagai perantara Upu Anahatana. Upu Anahatana adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menguasai langit dan bumi. Sedangkan ada empat Upu yang berada di bawah Upu Anahatana dengan tugas masing-masing. Upu-Upu tersebut Nue Nosite (penjaga laut), Wesia Upue (penjaga darat), Sionoi Aha (penjaga udara) dan Seite Upue (penjaga hutan dan kebun).
Dalam buku ini Agil menyajikan dengan baik tiga proses sakral dalam suku Noaulu. Selain perburuan potong kepala, yang kini digantikan dengan hewan kusu, dia juga mengungkap tradisi Panimou dan Pataheri, dua tradisi sakral bagi wanita dan pria menuju kedewasaan. Pataheri dan Pinamou banyak diriset orang, termasuk hasil disertasi doktroral Prof. Dr. Khalik Latuconsina, guru besar IAIN Ambon dan Kakanwil Agama Maluku ketika studi doktoral di IAIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta.
Pataheri disebut juga upacara cidaku, karena pria dewasa Noaulu yang mengikuti prosesi ini disematkan kain berang merah (karanunu) dan cidaku. Ritual pataheri dimulai dari puasa selama 1 hari, dari jam 3 dini hari sampai jam 6 sore. Pada saat berpuasa mereka menggunakan kaeng berang, yang diyakini akan melindungi mereka dari gangguan soi atau setan.
Pinamou adalah prosesi penobatan perempuan saat haid pertama, yang harus diasingkan ke pasune, rumah yang terbuat dari rumbia (daun sagu) dengan ukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 1,5 meter. Gadis yang melalui tradisi panimou hanya dibekali bambu untuk tempat tidur, kain dan piring yang dibuat dari daun sagu.
Kampung orang mati (bagian enam isi buku), adalah artefak ritus budaya yang menarik. Di tempat ini orang Noaulu yang meninggal ditaruh di atas para-para dari bambu. Hanya mereka yang meninggal karena melahirkan yang dkubur di dalam tanah. Kampung orang mati adalah tempat pamali, yang tidak boleh dikunjungi orang Noaulu, kecuali saat mengantar jenasah. Demi kepentingan buku ini, Agil menembus pamali mengunjungi daerah ini : mengambil gambar para-para orang mati.
Orang Noaulu juga berdoa, yang berusaha ditranslate Agil ke dalam bahasa Indonesia. Doa suku Noaulu ingin disandingkan dengan doa-doa lain, yang dalam sebutan dan artinya berasal dari agama-agama mainstream di Maluku, seperti Islam dan Kristen, yang telah mengalami asimilasi budaya dengan sebutan-sebutan adat dan budaya lokal seperti Upu.
Di atas semua upaya deskriptif itu, buku Beta Agama Noaulu yang ditulis Agil, sebenarnya ingin menggugat negara yang abai memberikan pengakuan terhadap agama Noaulu. Dimensi kultural dan religiusitas dalam buku ini, seakan ingin menegaskan term Noaulu itu adalah agama, bukan hanya sebutan sebagai suku yang selama ini ada di dalam kepala banyak orang.
Buku ini layak dibaca, karena membuka cara berfikir yang berbeda tentang orang Noaulu di Seram selatan. Membacanya tidak hanya mengantar kita pada sisi bathin terdalam religiusitas orang Noaulu, namun juga menggugat dimensi kebangsaan kita yang pancasila dan bhineka tunggal ika.
Namun membaca buku ini harus dengan pikiran yang terbuka, sebagai dialog yang tidak terjebak pada kebenaran sepihak. Tidak mudah menerima beberapa tesis dalam buku ini, termasuk membela Noaulu sebagai agama. Karena itu bagi mereka yang mendalami sosiologi agama, buku ini mungkin saja sangat menarik. Namun maknanya dapat berbeda bagi mereka yang memahami agama secara rigid, karena tidak terbiasa memahami agama dalam konteks sosiologis dan relasi-relasi kebudayaan yang terbuka.
Agil mendorong proses emansipasi agama tradisi seperti Noaulu, bukan saja dengan buku, namun juga mendedikasikan penjualan buku ini untuk didonasikan uangnya bagi prosesi adat Pataheri di Noaulu. Sebuah upaya nyata yang patut kita hargai di tengah keringnya toleransi bernegara kepada agama tradisi yang banyak tersebar di pedalaman Indonesia. Tabea!
Ditulis dalam delapan bagian yang menjadi isi buku, penulisnya M Azis Tunny mendeskripsikan dengan baik problema budaya dan religiusitas suku Noaulu, yang mendiami bagian selatan Pulau Seram. Noaulu berasal dari kata Noa, nama sungai, dan Ulu artinya kepala sungai. Noaulu artinya mereka yang mendiami hulu sungai Noa, di bagian Seram selatan.
Ungkapan agama Noaulu, adalah term yang paling tegas dalam buku ini. Karenanya Agil (sapaan Azis Tunny) dengan caranya men-declare judul bukunya : Beta Agama Noaulu. Ungkapan yang mungkin belum biasa, karena kita terbiasa mengenal dan menyebut Noaulu sebagai suku, bukan agama. Buku ini punya argumentasi yang cukup untuk memosisikan Noaulu sebagai agama, baik dari aspek religiusitas maupun hubungan-hubungan sosialnya.
‘Delapan bagian buku ini disajikan secara menarik: Agama Noaulu, Dicap Kafir dan Animisme, Potong Kepala Manusia, Ritual Menuju Kedewasaan, Jika Orang Noaulu Berdoa, Kampung Orang Mati, Sejarah Noaulu dan Sepa, Agama Leluhur Kian Terdesak, dan Noaulu di Mata Orang Muda.
Sebagai pembuka isi buku, bagian Agama Noaulu langsung menyoal relasi negara dan agama Noaulu. “Saban kali pelajaran agama, beta dan tamang-tamang dari kampung Noaulu disuruh ke luar kelas, karena agama kami tidak diajarkan di sekolah,” ujar Manioka Matoke, siswa kelas V SD Inpres Kilometer 12, Kecamatan Amahai.
Tuale Matoke (25) mengalami masalah diskriminasi yang lebih dalam. Saat SD dan SMP di raport agamanya Kristen. Sedang di bangku SMA tertulis di raport agamanya Islam. Dengan cara itu, Tuale dapat menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi. Dia pun tetap memiliki nilai agama. Saat mendaftar PNS di Kabupaten Maluku Tengah, Tuale menggunakan agama Hindu. Di akta kelahiran dan KTP-nya juga tertulis Hindu.
Tiga agama resmi itu, secara formil pernah menghiasi dokumen resmi Tuale. Namun dia tidak menganut satupun agama-agama itu. Karena tidak ada agama Noaulu yang diakui negara, Tuale memeluk tiga agama resmi negara itu dalam dokumen dan data dirinya selama perjalanan studi dan masuk tes CPNS. Tentunya cara itu dilakukan dengan sangat artifisial dan tidan imanen.
Bagian berikutnya, Dicap Kafir dan Anismisme, Agil mengutip ungkapan Tuale. “Orang bilang kami sembah patung, sembah pohon, sembah batu, nyatanya tidak. Kami percaya pada Upu Anahatana, Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar PNS di Kantor Camat Elapaputih, Maluku Tengah ini.
Bagi orang Noaulu, alam semesta dijaga oleh Upu sebagai perantara Upu Anahatana. Upu Anahatana adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menguasai langit dan bumi. Sedangkan ada empat Upu yang berada di bawah Upu Anahatana dengan tugas masing-masing. Upu-Upu tersebut Nue Nosite (penjaga laut), Wesia Upue (penjaga darat), Sionoi Aha (penjaga udara) dan Seite Upue (penjaga hutan dan kebun).
Dalam buku ini Agil menyajikan dengan baik tiga proses sakral dalam suku Noaulu. Selain perburuan potong kepala, yang kini digantikan dengan hewan kusu, dia juga mengungkap tradisi Panimou dan Pataheri, dua tradisi sakral bagi wanita dan pria menuju kedewasaan. Pataheri dan Pinamou banyak diriset orang, termasuk hasil disertasi doktroral Prof. Dr. Khalik Latuconsina, guru besar IAIN Ambon dan Kakanwil Agama Maluku ketika studi doktoral di IAIN Sunan Kalijaga, Jogyakarta.
Pataheri disebut juga upacara cidaku, karena pria dewasa Noaulu yang mengikuti prosesi ini disematkan kain berang merah (karanunu) dan cidaku. Ritual pataheri dimulai dari puasa selama 1 hari, dari jam 3 dini hari sampai jam 6 sore. Pada saat berpuasa mereka menggunakan kaeng berang, yang diyakini akan melindungi mereka dari gangguan soi atau setan.
Pinamou adalah prosesi penobatan perempuan saat haid pertama, yang harus diasingkan ke pasune, rumah yang terbuat dari rumbia (daun sagu) dengan ukuran 2 x 2 meter dengan tinggi 1,5 meter. Gadis yang melalui tradisi panimou hanya dibekali bambu untuk tempat tidur, kain dan piring yang dibuat dari daun sagu.
Kampung orang mati (bagian enam isi buku), adalah artefak ritus budaya yang menarik. Di tempat ini orang Noaulu yang meninggal ditaruh di atas para-para dari bambu. Hanya mereka yang meninggal karena melahirkan yang dkubur di dalam tanah. Kampung orang mati adalah tempat pamali, yang tidak boleh dikunjungi orang Noaulu, kecuali saat mengantar jenasah. Demi kepentingan buku ini, Agil menembus pamali mengunjungi daerah ini : mengambil gambar para-para orang mati.
Orang Noaulu juga berdoa, yang berusaha ditranslate Agil ke dalam bahasa Indonesia. Doa suku Noaulu ingin disandingkan dengan doa-doa lain, yang dalam sebutan dan artinya berasal dari agama-agama mainstream di Maluku, seperti Islam dan Kristen, yang telah mengalami asimilasi budaya dengan sebutan-sebutan adat dan budaya lokal seperti Upu.
Di atas semua upaya deskriptif itu, buku Beta Agama Noaulu yang ditulis Agil, sebenarnya ingin menggugat negara yang abai memberikan pengakuan terhadap agama Noaulu. Dimensi kultural dan religiusitas dalam buku ini, seakan ingin menegaskan term Noaulu itu adalah agama, bukan hanya sebutan sebagai suku yang selama ini ada di dalam kepala banyak orang.
Buku ini layak dibaca, karena membuka cara berfikir yang berbeda tentang orang Noaulu di Seram selatan. Membacanya tidak hanya mengantar kita pada sisi bathin terdalam religiusitas orang Noaulu, namun juga menggugat dimensi kebangsaan kita yang pancasila dan bhineka tunggal ika.
Namun membaca buku ini harus dengan pikiran yang terbuka, sebagai dialog yang tidak terjebak pada kebenaran sepihak. Tidak mudah menerima beberapa tesis dalam buku ini, termasuk membela Noaulu sebagai agama. Karena itu bagi mereka yang mendalami sosiologi agama, buku ini mungkin saja sangat menarik. Namun maknanya dapat berbeda bagi mereka yang memahami agama secara rigid, karena tidak terbiasa memahami agama dalam konteks sosiologis dan relasi-relasi kebudayaan yang terbuka.
Agil mendorong proses emansipasi agama tradisi seperti Noaulu, bukan saja dengan buku, namun juga mendedikasikan penjualan buku ini untuk didonasikan uangnya bagi prosesi adat Pataheri di Noaulu. Sebuah upaya nyata yang patut kita hargai di tengah keringnya toleransi bernegara kepada agama tradisi yang banyak tersebar di pedalaman Indonesia. Tabea!
source : https://www.facebook.com/pages/TitanE/21701744164698
0 komentar:
Post a Comment