“Dengan rendah hati aku mengakui : Aku adalah bayi
semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan
yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua,
memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan
sesuatu yang keramat.” (Pramoedya Ananta Toer)
CORETAN ini sebenarnya telah terpenjara sejak lama
dan enggan bersuara lantang tentang keresahan yang ingin disampaikan
pada dunia tentang ‘kedamaian’ atau ‘damai’ ataupun ‘perdamaian’. Apapun
yang pasti maknanya berkaitan dengan ‘pe-rasa-an | ke-tenang-an’.
Kiranya saya akan sedikit berkisah perjalanan dari Kota Ternate pada
tanggal 15 September dengan KM Sangiang dan tiba di Kota Ambon pada 18
September. Dengan maksud mengikuti tes wawancara calon wartawan Kompas
yang diselenggarakan di Hotel Marina Jl. Jan Pays No 16 kota Ambon.
Selama tiga hari berada di atas kapal yang banyak kisah yang saya alami
sebelum tiba di Kota Ambon. Mulai dari handphone saya hilang ketika
ketiduran. Bertemu dengan teman yang biasa saya sapa Mendes, berdiskusi
dengan beberapa orang asal Sanana tentang pertambangan emas yang
mengakibatkan kerusakan alam hingga bagaimana nasib alam Namlea yang
kini semua mata tertuju pada sumber emas yang ada di sana, di mana
setiap pertambangan emas pasti ada konflik dan darah.
Ketika beberapa jam lagi tiba di Kota Ambon, saya sempat bertemu
dengan salah satu pemuda asal Ambon dan bercerita terkait kedatangan
saya, bercakap-cakap hingga menambah sedikit pengetahuan bahkan sedikit
meresahkan hati. Kira-kira begini yang diungkapkan pemuda itu yang
menambah semangat saya,’Orang asli Ambon itu tidak ada yang kerja di
perusahan tambang emas, karena dia paling menghargai tanah. Ibarat bumi
seperti manusia dan emas yang berada di dalamnya adalah organnya,
ketika emas itu diambil maka tubuh bumipun akan terluka dan bumi akan
marah’. Sedangkan yang membuat saya resah ketika pemuda itu bertanya nanti ade tinggal di mana? Saya
menjawab ada teman saya di Ambon yang saya sudah kontak dan mereka siap
menjemput saya teman saya ada yang Muslim dan ada Kristen. Serentak
pemuda itu menghentikan omongan saya dan berkata dengan logat Ambon ‘Ah kalau bole ale jangan tinggal selain agama Islam, bukan apa tapi katong jaga makanan’. Saya kemudian menghentikan pembicaraan dengan kegelisahan bahkan amarah.
Tiba waktunya di Ambon pada tanggal 18 September di Hotel Marina,
mengikuti tes wawacara calon wartawan Kompas pada pukul 13.00, ternyata
pesertanya hanya empat orang termaksud saya. Ketiga orang berasal dari
dari Kota Ambon sedangkan saya sendiri dari Maluku Utara. Setelah
selesai tes wawancara kira-kira pukul 18.15. kitapun meranjak dari hotel
tersebut. Saya mendekati salah satu peserta bernama Rendi yang kini
menjadi sahabat, dan ternyata kita berdua lulus dari jurusan yang sama
yakni Sosiologi. Rendi yang tamatan S1 dari Unpatti dan saya dari
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU). Kita berduapun lolos tes wawancara hingga melanjutkan psikotes berikut.
Berdiskusi dengan keresahan yang sama, saya menyampaikan pada Rendi
terkait keresahan. Rendi seorang Kristen pertama di Ambon yang saya
sampaikan ‘tentang unek-unek saya yang kira-kira begini: “
Ibu saya beragama Kristen dan bapak saya beragama Islam. Kalaupun agama
yang diturunkan oleh Tuhan untuk berkonflik maka saya memilih untuk
tidak beragama”. Ternyata Rendi pun berpikiran yang sama dengan
saya. Sederhananya begini ‘Yesus menyiarkan agama dengan visi ‘Cinta
Kasih’ Nabi Muhammad juga demikian membawa visi kedamaian antar manusia.
Situasi sosial Maluku-Maluku Utara saat inipun sangat dipengaruhi
oleh politik lokal yang tidak sehat yang kira-kira hampir sama modusnya,
perubahan yang banyak menghilangkan nilai-nilai lokal terjadi pada era
melenium (1999) sampai saat ini, masih banyaknya kepentingan politik
yang menjadikan agama dan etnis sebagai kekuatan politik golongan yang
akhirnya menimbulkan konflik. Mari moi ngone futuru Malut hanya menjadi pajangan/slogan pada ruas-ruas jalan raya, begitu juga Pela gandong-Maluku. Saya kemudian teringat pada filosof bijak yang entah berapa lama di Malut: Giki Rimoi
yang artinya Tuhan itu satu, lisan ini yang telah sekian lama
(kemungkinan sebelum penyebaran agama di Malut) orang tua-tua kita telah
mengenal tuhan bahkan lisan ini sebagai perekat solidaritas kemanusiaan
Malut.
Kiranya masih banyak hal yang perlu dikisahkan tentang kedamaian di
Maluku-Maluku Utara yang kini masih mencari indentitas yang dulunya
menyatuhkan hubungan manusia dengan manusia. Kiranya untuk menutup
tulisan ini saya sedikit meminjam bahasa dari tulisannya Emha Ainun
Nadjib yang dimuat pada kolom Opini Kompas 22 September 2012 “ Ya Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang kerjanya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah”.
Dan akhirnya saya-kita dan semua akan bertanya-tanya Apakah Damai Itu
Mahal? Yang tidak seharusnya ada konflik baru kita membuat Tugu
Perdamaian, Gong Perdamaian dll yang hanya kita maknai sebagai objek
wisata untuk menarik perhatian pengunjung ketika datang dan berfoto-foto
setelah itu karcis-retribusi/pajak disodor ? Semoga tiap orang dapat
memberi makna.
Oleh: Faris Bobero
Penulis adalah aktivis muda, tinggal di Ternate
Terbit di Harian Pagi Suara Maluku. Ambon - Rabu 26 September 2012
Sunday, February 2, 2014
Apa Damai Itu Mahal ? (Coretan perjalanan dari Ternate ke Ambon)


0 komentar:
Post a Comment