LAUT YANG TENANG TAK AKAN MENGHASILKAN PELAUT YANG TANGGUH

Sunday, February 2, 2014

Apa Damai Itu Mahal ? (Coretan perjalanan dari Ternate ke Ambon)

“Dengan rendah hati aku mengakui : Aku adalah bayi
 semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan
yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua,
 memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan
 sesuatu yang keramat.” (Pramoedya Ananta Toer)

CORETAN ini sebenarnya telah terpenjara sejak lama dan enggan bersuara lantang tentang keresahan yang ingin disampaikan pada dunia tentang ‘kedamaian’ atau ‘damai’ ataupun ‘perdamaian’. Apapun yang pasti maknanya berkaitan dengan ‘pe-rasa-an | ke-tenang-an’.
Kiranya saya akan sedikit berkisah perjalanan dari Kota Ternate pada tanggal 15 September dengan KM Sangiang dan tiba di Kota Ambon pada 18 September. Dengan maksud mengikuti tes wawancara calon wartawan Kompas yang diselenggarakan di Hotel Marina Jl. Jan Pays No 16 kota Ambon. Selama tiga hari berada di atas kapal yang banyak kisah yang saya alami sebelum tiba di Kota Ambon. Mulai dari handphone saya hilang ketika ketiduran. Bertemu dengan teman yang biasa saya sapa Mendes, berdiskusi dengan beberapa orang asal Sanana tentang pertambangan emas yang mengakibatkan kerusakan alam hingga bagaimana nasib alam Namlea yang kini semua mata tertuju pada sumber emas yang ada di sana, di mana setiap pertambangan emas pasti ada konflik dan darah.

Ketika beberapa jam lagi tiba di Kota Ambon, saya sempat bertemu dengan salah satu pemuda asal Ambon dan bercerita terkait kedatangan saya, bercakap-cakap hingga menambah sedikit pengetahuan bahkan sedikit meresahkan hati. Kira-kira begini yang diungkapkan pemuda itu yang menambah semangat saya,’Orang asli Ambon itu tidak ada yang kerja di perusahan tambang emas, karena dia paling menghargai tanah. Ibarat bumi seperti manusia dan emas yang berada di dalamnya adalah organnya, ketika emas itu diambil maka tubuh bumipun akan terluka dan bumi akan marah’. Sedangkan yang membuat saya resah ketika pemuda itu bertanya nanti ade tinggal di mana? Saya menjawab ada teman saya di Ambon yang saya sudah kontak dan mereka siap menjemput saya teman saya ada yang Muslim dan ada Kristen. Serentak pemuda itu menghentikan omongan saya dan berkata dengan logat Ambon ‘Ah kalau bole ale jangan tinggal selain agama Islam, bukan apa tapi katong jaga makanan’. Saya kemudian menghentikan pembicaraan dengan kegelisahan bahkan amarah.
Tiba waktunya di Ambon pada tanggal 18 September di Hotel Marina, mengikuti tes wawacara calon wartawan Kompas pada pukul 13.00, ternyata pesertanya hanya empat orang termaksud saya. Ketiga orang berasal dari dari Kota Ambon sedangkan saya sendiri dari Maluku Utara. Setelah selesai tes wawancara kira-kira pukul 18.15. kitapun meranjak dari hotel tersebut. Saya mendekati salah satu peserta bernama Rendi yang kini menjadi sahabat, dan ternyata kita berdua lulus dari jurusan yang sama yakni Sosiologi. Rendi yang tamatan S1 dari Unpatti dan saya dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU). Kita berduapun lolos tes wawancara hingga melanjutkan psikotes berikut.
Berdiskusi dengan keresahan yang sama, saya menyampaikan pada Rendi terkait keresahan. Rendi seorang Kristen pertama di Ambon yang saya sampaikan ‘tentang unek-unek saya yang kira-kira begini: “ Ibu saya beragama Kristen dan bapak saya beragama Islam.  Kalaupun agama yang diturunkan oleh Tuhan untuk berkonflik maka saya memilih untuk tidak beragama”. Ternyata Rendi pun berpikiran yang sama dengan saya. Sederhananya begini ‘Yesus menyiarkan agama dengan visi ‘Cinta Kasih’ Nabi Muhammad juga demikian membawa visi kedamaian antar manusia.
Situasi sosial Maluku-Maluku Utara saat inipun sangat dipengaruhi oleh politik lokal yang tidak sehat yang kira-kira hampir sama modusnya, perubahan yang banyak menghilangkan nilai-nilai lokal terjadi pada era melenium (1999) sampai saat ini, masih banyaknya kepentingan politik yang menjadikan agama dan etnis sebagai kekuatan politik golongan yang akhirnya menimbulkan konflik.  Mari moi ngone futuru  Malut hanya menjadi pajangan/slogan pada ruas-ruas jalan raya, begitu juga Pela gandong-Maluku. Saya kemudian teringat pada filosof bijak yang entah berapa lama di Malut: Giki Rimoi yang artinya Tuhan itu satu, lisan ini yang telah sekian lama (kemungkinan sebelum penyebaran agama di Malut) orang tua-tua kita telah mengenal tuhan bahkan lisan ini sebagai perekat solidaritas kemanusiaan Malut.

Kiranya masih banyak hal yang perlu dikisahkan tentang kedamaian di Maluku-Maluku Utara yang kini masih mencari indentitas yang dulunya menyatuhkan hubungan manusia dengan manusia. Kiranya untuk menutup tulisan ini saya sedikit meminjam bahasa dari tulisannya Emha Ainun Nadjib  yang dimuat pada kolom Opini Kompas 22 September 2012 “ Ya Allah untuk apa Engkau ciptakan manusia yang kerjanya adalah merusak Bumi dan menumpahkan darah”. Dan akhirnya saya-kita dan semua akan bertanya-tanya Apakah Damai Itu Mahal? Yang tidak seharusnya ada konflik baru kita membuat Tugu Perdamaian, Gong Perdamaian dll yang hanya kita maknai sebagai objek wisata untuk menarik perhatian pengunjung ketika datang dan berfoto-foto setelah itu karcis-retribusi/pajak disodor ? Semoga tiap orang dapat memberi makna.


Oleh: Faris Bobero
Penulis adalah aktivis muda, tinggal di Ternate

Terbit di Harian Pagi Suara Maluku. Ambon - Rabu 26 September 2012

0 komentar:

Bale Ka Atas

 
abis baca komentar sadiki jua | biar katong baku kanal | salam hangat | par dong samua