LAUT YANG TENANG TAK AKAN MENGHASILKAN PELAUT YANG TANGGUH

Wednesday, March 5, 2014

INI DIA ASLINYA KAPITAN PATTIMURA

KAPITAN PATTIMURA DI LUKIS OLEH VERHEUL WAKTU DI TANGKAP TAHUN 1817

KAPITAN PATTIMURA ketika memakai tudung atau dalam bahasa LATU yaitu (lahatajjo), sketsa dibuat oleh anak buah Verhuell berinisial C.B.Z.

postingan ini saya copas dari http://leonwakano.wordpress.com/

Penulis : Luthfi Pattimura dan Kisman Latumakulita
ISBN : 987-979-9538-5-2
Penerbit : LSKPI Press, cetakan pertama, Desember 2012

Pada Mei 2001 di Jakarta, saya menjadi tim perumus seminar LEMHANAS KSA IX. Seorang jenderal TNI waktu itu sempat bertanya, “Mas Luthfi ada punya hubungan dngn Pahlawan Pattimura?”

Sbagai seorang yg bermarga Pattimura teramat sangat sering saya ditanyai seperti yg diajukan sang jenderal. Semenjak itu hanya satu hal yang harus saya buktikan yakni buka mulut, buka mulut, dan buka mulut atau akan ditanyai terus.

Memang, teman2, smenjak buku Sejarah Perjuangan Kapitan Pattimura Pahlawan Indonesia yg ditulis oleh Kapten TNI M. Sapiya (1959), nilai sejarah perjuangan Maluku satu ini sperti terbatas pada dua pihak, “benar” lawan “salah”.

Sekalipun Perang Pattimura diterangkan oleh fakta, sosok Kapitan Pattimura mestinya tidak menjadi polemik andai semua variabel fakta peristiwanya sudah d’kemukakan sedari awal. Polemik dan kontroversi mengasumsikan ada yang diabaikan. Itulah teman-teman, persoalan yg menjadi fokus sorotan ini buku.

Pada tgl 15 Mei 1817, jasad Van den Berq dan istrinya tergeletak di benteng duurstede, kota Saparua. Residen Belanda itu tewas bersama bala tentaranya stelah diserang oleh brigade Kakehan, “Kopassusnya” orang Seram.

Menjelang seratus tiga puluh tujuh tahun, drama pertempuran itu kemudian ditulis oleh Kapten TNI M. Sapiya tetapi tampil dalam bentuk buku yg paling banyak mengundang polemik dan kontroversi, berjudul diatas. Buku itu pertama kali dicetak pada 1954, kedua pada 1957, dan cetakan ketiga pada 1959. Inti buku itu dan karenanya menjadi sumber polemik dan kontroversi adalah di aliaskannya Thomas Matulessy sebagai Kapitan Pattimura.

Dmana masalahnya, teman2? Hidup basudara orang Maluku yg brlandaskan nilai sendi adat, pasti taulah marga itu apa, gelar itu apa, kapitan itu apa, Pattimura itu apa, dan akhirnya jg tau peristiwa 15 Mei 1817 itu sbenarnya peristiwa apa.

Jk ditilik dari 1 sisi, pnjelasannya sderhana. Trjadinya pristiwa 15 Mei 1817 dterangkan oleh fakta; pasukan Kapitan Pattimura menyerang Belanda. Tp itu fakta ttang variabel peristiwa yakni waktu dan tempat. Bukan fakta ttng Thomas Matulessy itu Kapitan Pattimura. Bahkan sejauh penulisan sejarah yg ada, hanya variabel itu yg di besar2kan, yg slalu muncul brulang-ulang. Ditilik dari sisi lain, dari sudut pandang orang awam, mndengar cerita ttng peristiwa 15 Mei 1817 dpt menjadi alasan utk menanyakan yg lebih peka lagi; dari mana faktanya peristiwa itu di sebut “Perang Pattimura?”

Kalau definisi fakta menyerang drumuskan sbagai tindakan sseorang atau skelompok orang mndatangi kelompok lain utk melawan, maka, mengapa hrs trjadi penyerangan, sperti apa, bgaimana, dan sterusnya. Kebutuhan mencocokan hubungan antara variabel fakta peristiwa ?tak hanya waktu dan tempat? membawa konsekuensi dlm bgaimana pninggalan jejak2 yang ada diisolasi, diangkat, dan diterangkan. Hubungan antara pelaku dan peristiwa, antara motif dan kejadian, sebab-akibat sama pentingnya dengan hubungan antara sejarah dan keterangan fakta; harus tidak menyerang akal sehat kita.

Jk tentara Belanda d’Saparua hrs tunduk dbawah ketiak pasukan Thomas Matulessy khusus pd 15 Mei 1817, seorang anak kecil pun dpt berpikir betapa wajarnya peristiwa itu disebut “Perang Matulessy” atau “Perang Saparua” seperti halnya ada penyebutan peristiwa yg bernama “Perang Hoamoal”, “Perang Hitu”, “Perang Iha”, atau “Perang Alaka”. Pelogikaan itu penting krn alasan logis yg trsedia ada lebih dari cukup. Istilah “Perang Pattimura” tak kan ada tanpa ada yg mengenal Kapitan Pattimura.

Thn 1980, pemerhati sjarah Pattimura, Nur Tawainella mengemukakan dalil mengenai nama Kapitan Pattimura tetapi malah tambah parah. Dlm artikelnya berjudul Menjernihkan Sejarah Pattimura di majalah Panji Masyarakat nomor 295, edisi 1 Juni, Tawainella bilang bahwa Matulessy adalah hasil pengadopsian nama berdasarkan dialektika orang Maluku yg memanggil “Ahmad” Lussy selalu disingkat “Mat”: jadilah migrasi nama dari “Mat Lussy”, menjadi “Matulessy”. Sekalipun ada keinginan yg mungkin dpt dimengerti, namun cara Tawainella merupakan contoh kemujuran analogi dialektika yang luar biasa, tapi malah salah kaprah; lebih mengaburkan daripada menjelaskan.

Debat mengenai Matulessy atau Ahmad Lussy bukanlah masalah dlm buku ini melainkan, Kapitan Pattimura, Thomas Matulessy, dan Ahmad Lussy sebagai tiga sosok yg memang ada tetapi mereka bukan anak-anak dari satu bapak.

Kecuali Kapitan Pattimura dan Thomas Matulessy, sosok Ahmad Lussy bahkan baru muncul seratus tahun sesudah peristiwa 15 Mei 1817 ketika, para kapitan Waehata Telu kembali akan menyerang Belanda di Piru pada 1919. Rencana bocor krn Walanda sudah mencium aksi itu terlebih dahulu lewat informasi dari siwalete Kakehan, atau marinyo (humas) yaitu Ahmad Lussy.

Ketika penulisan sejarah Pattimura banyak dikitari bab2 gelap, tak terpikir oleh kita betapa dekatnya nilai sendi adat dan filsafat hidup orang basudara Maluku dngn kebenaran; pd Pemilu pertama 1955 Sapiya diusung Partai Komunis Indonesia ?PKI untuk menjadi anggota DPR.

Jika polemik dan kontroversi merupakan lahan subur bagi doktrin kontradiksi PKI, maka buku Sapiya tampak disiapkan jauh sebelumnya untuk mengacak-acak kerukunan hidup orang basudara yg berlandaskan nilai sendi adat melalui penulisan buku sejarah. Setelah Gestapu ?Gerakan 30 September 1966, Sapiya ditangkap karena terlibat partai terlarang.

Sekalipun kebanyakan orang telah menyadari buku Sapiya tdk mengilhami kepercayaan diri para pewaris sejarah Pattimura, bukan berarti buku ini merupakan serangan terhdp kesalahan penulisan Pattimura, meski ada beberapa alasan dari sana; menelaah motif ketika sejarah itu dtulis, bahkan menelaah kondisi sosial masyarakat ketika peristiwa itu terjadi.

Buku ini bukan tentang sejarah perjuangan Kapitan Pattimura meskipun ada beberapa segi yg disentuh. Mungkin akan djumpai pula tema-tema lain dalam buku ini, tapi sepanjang bahasannya hanya menjurus ke satu ruang dan waktu ketika Belanda di hajar pada Mei 1817 di Saparua.

Pd saat kami memberikan perhatian khusus atas berbagai nuansa polemik dan fakta yg diabaikan, diam2 kami berpikir perhatian ini akan sangat penting. Tp, begitu kumpulan fakta ini yg mungkin masih kurang tepat, kami juga harus bersiap-siap menghadapi resiko memalukan jika buku ini menawarkan kesimpulan yang tdk tepat.

Interpretasi memang tdk selamanya benar. Kepada pembaca, khususnya basudara Maluku yg berlandaskan sendi adat, kami mohon maaf atas segala kekurangan isi buku ini.

Jk pembaca sudah melihat buku Sapiya, sumber yg dgunakan utk buku itu adalah apa yg disebut “Raport Porto”, sebuah catatan seorang guru bernama Risakotta, bertanggal 23 Nopember 1817. Sayangnya, Risakotta menyerahkan “Raport Porto” itu kepada overste Groot, komandan kapal perang Belanda Freget Maria Reygersbergen yg berada d’pelabuhan Porto usai pertempuran di Haria dan Porto seperti ditulis dosen sejarah Univ Padjadjaran Bandung, I.O Nanulaitta dlm makalahnya “Kronologis Jalannya Perang Pattimura”.

Jadi, “Raport Porto” yg dianggap sebagai sumber penulisan sejarah Pattimura itu, bukan di dpt dari penulisnya langsung atau ahli warisnya.

Sebelum timbul pertanyaan mengapa orang Latu yg menyimpan banyak fakta peristiwa 15 Mei 1817 tetapi baru d’ungkapkan pd Juni 1980, tentu hrs kami ungkapkan dsini bahwa orang Latu secara subyektif punya pengalaman buruk mempercayai orang dan, secara obyektif karena fakta pelaku penyerangan itu menyangkut keterlibatan para kapitan yg brasal dari tiga batang air; Tala, Eti, dan Sapalewa.

Mula2 buku ini hanya memusatkan perhatian pd brigade Kakehan sbgai fakta pelaku penyerangan dan berhenti pada 15 Mei 1817 sebab, data yg ada hanyalah sebatas fokus sorotan itu. Data itu, misalnya, pernyataan Z.M.A Matulessy, ahli waris Thomas Matulessy bahwa inisiatif penyerangan terhadap Belanda di Saparua berasal dari Saniri Tiga Batang Air dalam rapat kilatnya di Nusa Ina seperti ditulis di Koran Nasional edisi 11 Mei 1993. Termasuk, keterangan tetua adat negeri Latu dalam sbuah naskah yg dsusun pd Juni 1980, brjudul “Terbukalah Sejarah Asli Kapitan Pattimura”.

Bahwa, pleno adat Kakehan sebagai penjelas sikap dasar para kapitan tiga batang air ketika dihadapkan pd pilihan membantu anak cucu Nusa Ina yg sedang teraniaya di Saparua, pastilah. Tp, spektrum sikap dasar Kakehan terlalu luas seperti halnya pengertian ttng penganiayaan yg dilakukan penjajah trhdp masyarakat. Data yg hrs diolah dngn demikian mengolah pula faktor2 yg bekerja di belakangnya. Informasi yg dibutuhkan dngn dmikian tdk sebatas data yg ada di tangan.

Berbagai keterangan tentang Kakehan mmang kami dengar sejak usia ‘bolang’. Namun sifat dari apa yg terdengar itu hrs diakui membutuhkan telaah yg tdk sebatas kondisi dan tempat cerita itu dsampaikan.

Karena Kakehan menyangkut hasil pleno adat Saniri Aipasa, dan Saniri Aipasa menyangkut kelompok Patasiwa yg akirnya menyangkut komitmen silaturrahmi majelis adat tiga batang air, bahkan menyangkut agama kuno Nusa Ina yg menelurkan sifat dlm memutuskan cara memelihara warisan nilai budaya nenek moyang bahkan, menyangkut tanggapan budaya lokal terhadap hak universal, kami hrs melapisi penglihatan kami yg relevan dngn apa yg disebut antropologi, sosiologi bahkan penglihatan yg relevan dngan theologi, termasuk geologi ketika sifat dan watak manusia berkaitan erat dngn kondisi lingkungan sekitar mereka tinggal. Itu kami lapisi satu di atas yg lain.

Begitu kami kupas itu lapisan2, tampak, apa yg membuat fakta sejarah Pattimura dikitari bab2 gelap salahsatunya krn ini; spektrum organisasi Kakehan yg terlalu luas bahkan penuh kerahasiaan.

Masuk akal, mengapa para analis sejarah Pattimura pusing begitu fakta pelaku peristiwa ini langsung menyangkut Kakehan.

Pd tgl 5-7 Nop 1993, para ahli, analis, dan pemerhati sejarah, bersama pemerintah terlibat perlawanan argumentatif dlm seminar ttang sejarah perjuangan Pattimura di Kodam XV Pattimura, Ambon.

Kami masih ingat kata2 mantan Raja Latu, Sabri Pattimura, salah seorang peserta seminar tersebut ttg pernyataan Frans Hitipeuw yg waktu itu mewakili Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI dlm seminar tersebut bahwa, “sosok Kapitan Pattimura sebenarnya adalah seorang Muslim, nanti akan muncul pd waktunya”. “Tp”, menurut Hitipew kpd Sabri Pattimura, “sekarang belum saatnya”. Ketika kami mengikuti kata2 tersbt, arahnya seperti melahirkan buku ini, meski lewat enigma (teka-teki).

Ibarat mengisi teka-teki silang, buku ini hrs kami isi dngn menjawab sederet daftar pertanyaan; sejajar, kanan kiri atas bawah. Menariknya, sebagaimana sdh djawab banyak orang, begitu satu kolom terisi jawaban, kolom lainnya yg sudah terisi malah memerlukan perbaikan. Pastilah, krn jawaban yg jg banyak meminta alasan2 logis.

Betapapun cemerlangnya kolaborasi para kapitan tiga batang air melalui Kakehan, ia hanyalah cerita2 di bawah pohon jk tdk diangkat dan diisolasi. Cerita dbawah pohon bukan mustahil menjadi ladang yg lain bagi tumbuhnya kontroversi.

Di dlm berbagai perlawanan yg dberikan nenek moyang kita trhadp penjajah ?bukan hanya Perang Pattimura? di samping tdk ada sebab tunggal, didalamnya jg melibatkan para ksatria yg krn watak dan kemampuan mereka menjadi orang2 pilihan ditengah masyarakatnya. Tp, pemahaman yg kita dpt, sejarah Pattimura tak lebih dari sebuah “pertempuran sentris”. Nyaris hampa dari jejak nilai budaya.

Tdk bisa ditutup-tutupi betapa reputasi orang pilihan adalah krn ketaatan mereka pd prinsip dasar tertentu. Jk “kapatah” diartikan sebagai kidung tradisional, misalnya, maka “semanno” lebih khusus diartikan sebagai puji-pujian kepada para leluhur.

Sangatlah sulit mendapat gambaran yg jelas mengenai tanggapan budaya terhadap hak sebagai representasi sifat ketaatan kepada prinsip dasar tertentu jika sejarah perjuangan ditulis hanya pada aksi heroik, atau pertempuran sentrisnya.

Sejauh ini, tdk ada gambaran yg jelas dari peristiwa 15 Mei 1817 yg dpt membantu memberikan terminologi bhw potret manusia dan kebudayaan Maluku secara universal juga ada dalam sejarah Perang Pattimura.

Tak mungkinlh bahkan mustahil, sejarah yg diceritakan hari ini akan sama persis dngn peristiwa yg sebenarnya terjadi.

Bagi mereka yg terlibat langsung dngn peristiwa itu, atau mereka yg mendengar peristiwa tersebut diceritakan dari saksi mata, mungkin mengingatnya, mencatatnya dngn cara mereka, lalu catatan itu mereka simpan baik2 sbagai bahan perenungan berharga ttng sebab, motif, waktu, pelaku, atau akibat terjadinya peristiwa tersebut.

Tp kadang muncul orang yg tdk berhak; mengambil catatan yg tersimpan. Nilai peristiwa yg ditulis menjadi kacau balau, campur aduk antara pengalaman para saksi mata dngn opini tamu tak berhak tadi.

Selanjutnya, tradisi mencampuri urusan yg bukan haknya diikuti orang2 sesudahnya; informasi yg diteruskan lebih parah lagi, terjebak pd kebiasaan memindahkan cerita dari mulut ke mulut, menganalogikan bahasa yg malah salah kaprah, menyalin dari satu buku ke buku yg lain, tanpa analisa. Ini menjawab pertanyaan ttng mengapa banyak masalah yg menggantung dlm penulisan sejarah Pattimura.

Upaya mengungkapkan siapa sosok Kapitan Pattimura bukan krn tidak ada data pendukung tetapi, karena terlalu banyak pernyataan, terlalu banyak opini2 oplosan. “Hingga berakhirnya seminar”, demikian tulis koran Suara Maluku edisi 8 Nopember 1993, “Belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya”.

Dari segi kehati-hatian, orang Latu memilih merahasiakan fakta peristiwa 15 Mei 1817 yg sebenarnya agar dapat menarik garis yg jelas antara dpt dan tidak dpt menjaga perasaan basudara lain, yakni para anak cucu yg berasal dari tiga batang air, sembari membiarkan fakta2 yg ada berbicara sendiri.

Krn buku ini hanya membicarakan keterangan fakta, sesuatu yg pasti peka tp inilah faktanya maka, sosok Kapitan Pattimura asli yg akan di munculkan dsini tak ada kaitannya dngn asal melainkan dngn kecocokan antara motif dan kejadian, sebab dan akibat, pelaku dan tempat bahkan, kecocokan antara marga dan gelar.

Sehubungan dngn bahan informasi tentang sosok Kapitan Pattimura yg sudah ancor lele sedari awal, titik singgung buku ini dpersempit pd jejak2 para kapitan tiga batang air khususnya yg berada di Latu dan sekitarnya.

Informasi mengenai bagaimana nenek moyang kita itu menyerang penjajah, bagaimana usaha-usaha heroik mereka, kemampuan dan kesetiaan mereka akan suatu tujuan, apakah kemunculan mereka hanya karena bakat-bakat intuisi, direncanakan atau spontanitas, dikomando atau bergerak diam2 termasuk peralatan mereka, kami akui tidak bisa diselami hanya dari satu sisi.

Dngn alasan tsb, buku ini meminjam sjumlah pendapat ahli antara lain: Subyakto, antropolog UI dlm esai terbatas Kebudayaan Ambon. Juga, keterangan dari sejarawan Maluku R.Z. Leirissa dlm bukunya, Maluku Dalam Perjuangan Nasional Indonesia. Sedangkan keterangan mengenai bahasa sebagai alat pengukur apakah kata2 yg dgunakan persisnya memang begitu atau tidak, buku ini juga menggunakan hasil studi lapangan E. Wattimury, Ny. A Haulussy, dan J. Pentury lewat karya mereka Struktur Bahasa Alune.

Pendapat ahli sejarah pendidikan tradisional Hasan Muarif Ambary juga penting untuk melihat latar belakang kemunculan nenek moyang Kapitan Pattimura dan karenanya motif perjuangannya. Esai Ambary dalam Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Generasi Masa Depan, bahkan memperkuat sinyalemen Frans Hitipew tentang Kapitan Pattimura itu seorang muslim; ulama mujahid.

Kalau buku ini menggunakan pendapat Ibn Khaldun, mungkin karena kajiannya yg mendalam akan kata “Mulk”, dan teorinya tntng pengaruh iklim terhdp watak manusia lewat karyanya yg monumental Mukaddimah. Mudah-mudahan krn ada semacam kemiripan saja antara teori itu dngn watak yg mudah bersuka-ria, mudah dibangkitkan, terkait dngn watak yg mudah dihasut. Bahkan bukan tidak mungkin terkait dengan hormon adrenalin (nyali).

Termasuk, keterangan dari Bernard HM. Vlekke, sejarawan Belanda lewat karyanya Nusantara: Sejarah Indonesia, dan, keterangan dari M. Adnan Amal lewat karyanya Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Keterangan dari Rusli Andi Atjo lewat karyanya, Pergolakan di Maluku Pada Abad XVI juga menjadi bahan penting.

Utk informasi yg bersifat umum ttng geologi, ttng tumbuhan eksklusif seperti cengkeh dan pala di bumi Maluku sebagai faktor yg bukan kebetulan, bahkan tentang suku Melanesia sebagai manusia pra Nusa Ina, buku ini juga menggunakan pandangan Arnold Toynbee tentang perubahan2 fisiografis dan iklim selama proses pembentukan planet bumi lewat bukunya Sejarah Ummat Manusia, dan pendapat Robert Cribb, ahli sejarah Indonesia pd Univ Queensland, Australia, ttng pengaruh iklim yg menyebabkan suku Melanesia Pasifik kabur dari daerah barat ke timur, lewat esainya Bangsa: Menciptakan Indonesia.

Bagaimana gambaran tumbuhan eksklusif seperti cengkeh, pala, atau mutiara, berkaitan dengan sifat kondisi alam sekitar, buku ini jg penting memakai keterangan dari L. Rutten dan W. Hotz, geolog Belanda atas hasil penelitian mereka di Nusa Ina selama dua tahun (1917–1919) dlm karya mereka Geological, Petrographical, And Palaeotological Results In The Island Of Ceram.

Sekalipun kami merasa lahir dan dibesarkan di tengah lingkungan adat, teori2 ttng adat tetap kami pertimbangan misal dari Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneka lewat karya mereka, Hukum Adat Indonesia, atau dari Roberto M. Urger, tokoh gerakan studi hukum kritis yg juga Guru Besar bidang hukum Universitas Harvard dalam karyanya Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern.

Yg tak boleh kami abaikan pula ialah keterangan Ziauddin Sardar, wartawan New Scientist, London, ttng terobosan dini ilmuwan Muslim pra modern bidang astronomi, matematika, maupun kedokteran lewat karyanya Muhammad For Beginners. Pembeberan Sardar lewat karyanya itu memungkinkan kami memahami kemunculan Pattimura bukan saja secara fisik, melainkan menjadi penuntun untuk memahami bakat-bakat intuisinya yg begitu penting, bahkan memungkinkan kami menemukan bentuk peralatan perang yg digunakan. Misalnya, parang; tidak panjang, sangat tajam setajam silet, dan mengapa ada tiga lubang kecil di dekat pegangan parang tersebut.

Segera setelah kita mengetahui peran Kakehan dlm peristiwa 15 Mei 1817, mengetahui fakta ttng besluit, Piagam dari Pemerintah Kerajaan Belanda dan, fakta tentang polemik para analis sejarah, maka fakta2 itulah yg menyatakan sosok Kapitan Pattimura bukan seperti dipahami orang selama ini.

Tentang besluit, ditunjukan oleh Piagam Penghargaan Kerajaan Belanda kepada Raja Latu krn orang Latu telah memelihara Puane, putri Residen Van den Berg yg brnama lengkap Jeane Lubbert Van den Berq. Sang Puane diselamatkan pasukan Pattimura dari dlm benteng ktika msh orok, terbungkus dlm peti, dibawa ke Latu dan dipelihara oleh marga Riring hingga si Puane berusia tujuh tahun.

Bukti pemeliharaan putri itulah, menjadi alasan yuridis bagi Walanda bhwa mereka diserang oleh pasukan dari Latu, sekurangkurangnya orang Latu tau itu.

Maka, orang2 Latu pun ditangkap, kemudian diberangkatkan ke Saparua utk menjalani hukuman; mencabut rumput dngn gigi, mencungkil gunung batu dngn isi parang yg hasilnya sekarang menjadi sebuah jalan raya bernama “soloise”.

Tentang jejak para kapitan tiga batang air, ditunjukan oleh tempat-tempat yg ada di Latu dan di Saparua seperti Worinno, Lahatuni, atau Amoulo, Kohu, atau Waesisil, dan, kapatah-kapatah.

Tentang kontroversi, polemik, anomali, di tunjukkan oleh munculnya berbagai bentuk tulisan, artikel oleh para sejarawan, analis, pemerhati yg berironi tentang dialiaskannya Thomas Matulessy menjadi Kapitan Pattimura. Meskipun yang terahir ini hanya prolog, tetap merupakan bahan perbandingan bahkan alasan buku ini.

Hubungan nilai perjuangan ?bukan hanya Perang Pattimura? dngn kondisi kekinian adalah relevansinya yg sangat erat dengan HAM, hukum, dan demokratisasi. Sangat bersifat pembebasan nilai kemanusiaan universal.

Di abad globalisasi, abad informasi, dan transparansi ini, maka titik balik pembebasan itu mestinya juga membebaskan tradisi pemikiran dari warisan zaman penjajahan. Yg hanya melihat Perang Pattimura sebatas hari peristiwanya dan diperingati setiap tahun secara konstan.

Di mana masih ada kejanggalan dan kontroversi, di sana tak kan ada kebangkitan dan pembebasan.

Nilai penggerak perjuangan yg dibayangi ongkos dan kegunaan pastilah bukan sifat dasar Kakehan seperti halnya nilai itu akan lenyap bersamaan terwujudnya asas kegunaan.

Ketika Kakehan menjadi makin diperhitungkan dan disegani, sesuatu yang lain harus hadir sehingga watak tradisi penghormatan saja tak akan cukup.

Nilai2 yg selalu diinginkan manusia adalah kelangsungan hidup, keamanan, persaudaraan, keselamatan, keunggulan, bahkan mungkin prestise. Setidaknya, itulah nilai mendasar yang entah bagaimana selalu dijunjung tanpa menghiraukan kegunaan atau ongkosnya.

Jika kita sedang terenyuh menghadapi wajah karakter bangsa, maka pemutarbalikan fakta bagi siapa saja adalah adegan paling puncak dari drama reruntuhan nilai kemanusiaan universal, dari nilai kearifan lokal, variabel karakter bangsa itu.

Dngan tdk meninjau ulang fakta peristiwa 15 Mei 1817 dlm mata pelajaran sejarah perjuangan bangsa di bangku sekolah, bukan mustahil akan menjadi benih sengketa anak cucu kita di masa mendatang karena kita berbicara tentang pendidikan berkarakter sembari melakukan pembiaran manipulasi fakta sejarah.

Variabel pendidikan berkarakter tak pelak hanya menjadi omong bual. Maka, tujuan utama buku ini adalah menyuguhkan fakta-fakta peristiwa Perang Pattimura yang selama ini masih tersembunyi bagi kebanyakan orang.

Interpretasi mana bukan hanya dari perspektif kecocokan antara pelaku dan tempat untuk memahami motif dan kejadian, sebab dan akibat, melainkan juga dari perspektif kondisi sosial; ketika peristiwanya terjadi atau bahkan, ketika sejarah ini ditulis.

Di mana tidak ada kecocokan, di sana tak kan ada obyektifitas pemahaman.

Cengkeh dan pala adalah buah kemanisan sifat obyek alam yg, menjadi magnit bagi kedatangan berbagai bangsa ke Maluku. Tapi, periode peperangan yang terkenal seperti Perang Hitu (1520-1605), Perang Banda (1609-1621), Perang Iha (1632-1651) atau Perang Hoamual (1625-1656) menjelaskan, bahwa d’antara bangsa2 yg datang itu, ada yg membawa jenis kejahatan yg hebat terhadap warga masyarakat.

Maluku tak pelak menjadi citra daerah yg malang di tengah kekayaan.

Perang Pattimura mungkin tak bisa di pisahkan dari bias zaman peperangan sebelumnya tp, yg unik mengenai hubungan Kapitan Pattimura dan periode peperangan itu adalah adanya anggapan bahwa Pattimura itu dia dia juga yg ada dlm peperangan2 dmaksudkan.

Kejahatan zaman penjajah kini tinggal kenangan tetapi Perang Saudara atau konflik horizontal (1999-2004) merupakan urusan semua orang yg berpikir ttng bias sifat tanah rempah-rempah, ttng sifat tanah raja2.

Gambaran mengenai hubungan antara sifat obyek alam Maluku dan prilaku sosial menjadi alasan bab pembuka buku ini ttng “Maluku”.

Hubungan Brigade Kakehan sebagai fakta pelaku penyerangan 15 Mei 1817 tdk sebatas melihat kerangka fisiknya. Kita tdk dpt mengerti dengan baik, mengapa Kakehan disebut sebagai kopassusnya orang Seram tanpa mengetahui terlebih dahulu tentang gambaran induk pasukan khusus itu, ya Kakehan itu.

Dngan alasan Kakehan sebagai organisasi kemiliteran jaman kuno Nusa Ina, yg merepresentasikan watak mengamankan kelompok masyarakatnya, buku ini akan dilanjutkan dngn bab dua ttng “Fakta Peristiwa dan Karakter Orang Seram” untuk melihat kemungkinan akar keintiman sosial dalam paduan tiga batang air; Tala, Eti, dan Sapalewa.

Manusia cenderung melakukan apa yg pernah dilakukan. Watak, kelakuan juga terikat pada kondisi alam sekitar. Sebelum perlawanan terhadap penjajah ?bukan hanya Perang Pattimura? menjadi kewajiban, ada kebiasaan, ada tradisi yg mau tak mau membawa kita untuk melihat faktor2 yg mengkondisikan lahirnya watak dan tradisi tersebut, uraiannya di bab tiga, ”Kakehan dan Nunusaku”.

Selain Latu sebagai tempat kelahiran Kapitan Pattimura secara fisik, pengaruh tradisi penghormatan atas kekuasaan di Nusa Ina dari zaman ke zaman pada akhirnya menjelaskan Worinno menjadi tempat pleno adat para anggota Kakehan bukan kebetulan, melainkan karena Latu sebagai representasi keabsahan tradisional atau kekuasaan adat. Kita akan melihat hal ini dalam bab empat, “Latu”.

Sebelum kita melihat bangkitnya semangat Ana Manawo dan bagaimana jalannya persiapan pengempuran oleh brigade pembebasan nilai kemanusiaan itu pada bab tentang “Aksi Heroik 15 Mei 1817”, kita akan melihat siapa sosok Kapitan Pattimura yg sebenarnya dalam bab lima.

Memahami nilai peristiwa sejarah tidak sebatas memahami waktu, pelaku atau tempat. Jika fakta peristiwa tdk cukup memadai untuk menjelaskan kesadaran sejarah, dan, kemunculan skill pasukan khusus berakar pada kesadaran sejarah maka, bab dua dan tiga buku ini merupakan kombinasi efek latar belakang; hanya untuk memperbandingkan akar kemunculan cipta, rasa, dan karsa yg dicontohkan dengan adanya cerita-cerita rakyat, syair, pantun, kapatah, atau jugulu-jugulu (teka-teki).

Ketika ada ahli sejarah yg mempertanyakan bukti kapatah2 jika penyerangan Perang Pattimura atas inisiatif Saniri Tiga Batang air di pulau Seram, maka kapatah2 dlm bab tentang Aksi Heroik Ana Manawo bukan hanya menjadi penuntun untuk menjelaskan kesadaran sejarah tp sekaligus menjadi pegangan kepada sang ahli sejarah.

Jk diamati, aksi heroik para pasukan justru karena disemangati dengan kapatah-kapatah.

Kalau boleh kita amati lebih mendalam lagi, justru fakta inilah –kapatah2- yg tidak ada dalam cerita pergerakan pasukan Thomas Matulessy.

Mempertemukan apa yg diabaikan dengan era HAM dan demokratisasi dapat membantu kita memulihkan ingatan generasi penerus tentang pentingnya fakta peristiwa sebagai penentu obyektifitas nilai sejarah.

Kebalikan dari upaya ini adalah menjauhkan nilai sejarah dari identitas daerah. Ini kami pisahkan tersendiri dalam satu bab penutup.

Tidak lama lagi dari sekarang, peristiwa 15 Mei 1817 akan genap dua abad.

Jk kita berangkat dari 1966 dimana pembangunan nasional bermula, kita dapat melihat berbagai hasil selama 32 tahun meski, nikmatnya tergantung kebaikan hati sang penguasa.

Semenjak Mei 1998 sebagai starting point reformasi total, kita sudah bangkit hampir untuk segala urusan dalam kehidupan bersamaan dengan pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan dan desentralisasi kewenangan keuangan.

Konsekuensi saling mengkalim adalah mengklaim pula nilai kebangkitan dan pembebasan yang secara prinsip bersifat universal dan abadi. Dapatkah nilai sejarah yang ada di terangkan dalam kerangka pencocokkan hubungan antara pelaku dan tempat, motif dan kejadian, antara sebab dan akibat, sehingga fakta peristiwanya menjadi lebih bernilai universal?

Dengan mengetahui peran Kakehan dalam operasi adat 15 Mei 1817, kita akan berpikir alasannya pastilah luar biasa.

Dengan mengetahui motif eksodus orang2 Iha yg hrs menyeberangi lautan dan bermukim di Latu hampir satu abad, kita akan melihat motif itu sebagai sebab luar biasa yang mengusik kepekaan para kapitan Waehata Telu menyerang Belanda.

Cara pandang seperti ini mewajibkan kita untuk lagi-lagi mengisolasi tempat, pelaku, motif dan kejadian.

Dengan mengamati sketsa wajah Kapitan Pattimura yang ditemukan di Belanda pada tahun 1985 oleh Tim penggarap film Balada Kapitan Pattimura, kita pun dapat berpikir bahwa kontroversi sosok Kapitan Pattimura memang ada banyak petunjuknya.

Kekurangan buku ini adalah latarbelakang dua penulis yg wartawan, bukan sejarawan. Sedikit kelebihan buku ini adalah wartawan yg selalu menulis berdasarkan fakta. Mengisolasi tempat, pelaku, motif dan kejadian Perang Pattimura yg dilakukan dua penulis buku ini, sekarang tinggal bagaimana diangkat ulang dan diterangkan oleh para sejarawan.

Yang pasti teman-teman, ketika matarumah merupakan sinonim dari fam atau marga yang menunjukkan tingkat kekerabatan, tingkat kekeluargaan, dan matarumah Pattimura di antero bumi ini hanya ada di Latu, Seram Barat, maka apapun komentar orang atas isi buku ini adalah sementara dalam pemahaman, tapi matarumah Pattimura adalah permanen dalam hubungan dengan hak identitas keluarga, hak identitas kampong, bahkan hak identitas daerah seperti halnya hubungan ahli waris Matulessy dngn Thomas Matulessy adalah permanen yg tidak gampang untuk dibengkokkan begitu saja oleh siapa saja, dngan alasan apa saja..

0 komentar:

Bale Ka Atas

 
abis baca komentar sadiki jua | biar katong baku kanal | salam hangat | par dong samua