Uang
saribu ni kalu bukang masu di kotak amal/celengan, pasti dong simpang akang par
uang kombali, jarang par mau pi stor akang di bank, tapi katong harus sadar,
ini kepeng saribu rupia ni paleng merakyat, karna tiap hari akang ada di
pasar, di dalam oto, di pangkalan ojek, sampe di dalam oma2 dong pung kaeng
salele, heheeee,. coba ale dong pi di apertemen , hotel berbintang, diskotik,
deng tampa2 mewah yang orang kaya seng tau diri deng pejabat2 dalam muka
korupsi biasa pigi di akang tu, pasti kepeng saribu ni jarang mau laia akang,
dong cuma slak deng kartu kredit kalu seng kasi uang merah kong dong bilang,
"suda akang pung kambali par ose jua"...
kastinggal
dong jua biar korupsi tapi uang itu dong yang punya jadi mau bilang apa,..
temen2
yang gk ngerti dialek Ambon, maaf ya dari pada membudayakan bahasa inggris
mending pake dialeg Ambon saja, biar wawasan Nusantara kita bertambah dikit,,
heheheee piss out ada inggrisnya juga neh..
Beberapa
hari yang lalu saya iseng iseng search di paman Goegle tentang keunikan Maluku,
tapi yang banyakan muncul kok keunikan uang seribuan, dia antaranya, icon Smile
di kancing Baju kapitan Pattimura , kontaradiksi letak pulau di baliknya dan
senyum Kapitan Pattimura yang Ramah..
begini
cerita Uniknya :
parang dan senyum yang ramah
Banyak
yang bilang, katanya Mantan Wapres Siswono Yudo Husodo pernah mengkritisi
kontradiksi Gambar Kapitan Pattimura berpose dengan senyum yang ramah ala nyong
ambon, akan tetapi bawa parang terhunus, siapa yang bikin yah desain gambar
pahlawan ini? menurutnya senyum kapitan Pattimura harus lebih Garang dan sangar
ketika menghunus Parang. tapi saya search kok gak ada tuch kritikan Pak WAPRES
tentang ini.
Pada
Zamannya Orang Maluku adalah Pencetus pertama Revolusi pertanian, khususnya
tanaman cengkeh, parang yang merupakan lambang keberanian dan jiwa patriotis
sebenarnya adalah Alat untuk membuka hutan,bertani Cengkeh dll, nanti setelah
datang Portugis Brengsek dan Belanda Jahannam Barulah Parang menjadi Lambang
perlawanan,jadi wajarlah kapitan Pattimura tidak salempang parang dengan wajah
Ganas di Uang seribu itu Om….
kontradiksi gambar pulau Maitara danTidore
Desain
Pulau Maitara dan Tidore yang yang di lukis dari Restoran Floridas di Ternate
berbanding terbalik dengan foto yang di ambil juga dari Restoran itu.
Ini
juga ngawur, orang yang belum pernah ke Ternate kok seenaknya berkesimpulan,
lihat Angle gambar yang satu ini
Gambar
ini jepretnya dari pantai Gambesi, jadi memang bukan dari Hotel Floridas angle
desain yang di Uang Seribuan.
Kapitan Pattimura Hobby Karaoke?.
Pattimura
yang gagah berani ternyata tidak cuma piawai bertempur melawan penjajah
Belanda, namun juga pandai ber-karaoke di saat senggangnya.
Kalo
yang ini sih Cuma Bisa bisanya orang yang gk ada kerjaan aja, heheeeee
Kapitan
Gayus tambunan
Ini
yang menyulut rasa benci
Pattimura itu Kami
(almascatie)
Beberapa
hari yang lalu beredar lelucon ala sotosop buatan anak negeri ini di Internet,
lelucon kalo boleh dibilang, sayah salut dengan teknik olah digitalnya yang
bisa membuat kita terpingkal-pingkal, sebuah gambar yang dibuat oleh orang super
kreatif, untuk memberi kritikan bagi Negeri ini seperti yang lainnya. Akan
tetapi disisi lain ada rasa perih yang menyengat di sudut hati, rasa perih yang
menjalar ke seluruh tubuh yg membuat sayah ingin menangis sekaligus tertawa
melihat gambar itu. Pada gambar itu wajah Pattimura di Mata Uang Rp. 1.000 di
ganti dengan wajah Gayus Tambunan. Gayus Tambunan sang pembuka kehancuran
negeri ini dengan mempermainkan Indonesia bak rumahnya sendiri yang bisa
diobrak-abrik, Gayus yang seakan-akan Tuhannya negeri ini yg tak bisa disentuh
oleh siapapun. Gayus menjelma di lembaran seribu rupiah menggantikan wajah
Pattimura lengkap dengan menenteng “Parang”.
Maaf, tapi bagi sayah pribadi, seseorang yang lahir di Maluku, seseorang yang
hidup ditengah-tengah hutan sagu, gelombang laut Banda, seseorang yang lebih
banyak belajar tentang kepahlawanan dan budaya orang lain dari pada belajar
tentang lingkungan kami sendiri. Pattimura adalah kebanggaan kami, Pattimura
adalah jiwa kami yang membangun negeri untuk kami sendiri. Ditangan Pattimura
“Parang” untuk membela rakyat, di tangan Gayus, Parang untuk membelah rakyat
Negeri ini.
Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
[Thomas Matulessy]
Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar, dan setiap
beringin besar akan tumbang. Tetapi beringin lain akan ganti. (Demikian pula)
saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar, dan setiap
batu besar akan terguling. Tapi batu lain akan ganti
Dia
Thomas Matulessy sang Kapitan Pattimura telah mengucapkan kalimat-kalimat saat
menghadapi tiang gantungan dari Belanda atas perlawanannya membebaskan negeri
ini dari cengkeraman Belanda, Dulu, saat watak asli budaya zaman “Hena Masa
Waya Lotto Honimua”. Kalimat patriotis yang mampu membakar jiwa mereka saat itu
dan generasi berikutnya, kalimat tegas sekaligus penyerahana tanggung jawab
yang sangat besar bagi Pattimura-pattimura baru untuk menjadi Batu bagi
penindasan di negeri ini, menjadi Beringin besar bagi para penjajah negeri ini
yang ingin merampas cengkeh dan pala di ewang-ewang cucu alifuru. Pattimura
adalah teladan jujaro mungare Maluku yang telah mengakar sebagai sebuah
kebanggan kami untuk menunjukkan jiwa heroisme dan patriotisme ditengah
merosotnya identitas lokal, nasional oleh kepungan globalisasi.
Pattimura adalah simbol perlawanan kami terhadap penindasan dan ketidak adilan.
Di tangan kanan tergengam dengan erat sebuah “Parang” yang tidak hanya dapat
diartikan secara sempit sebagai simbol dari “kekerasan”, dimana apapun yang
terjadi “Parang” akan berbicara, akan tetapi ini adalah simbol untuk
menaklukkan dunia bagi kami, parang menjadi senjata untuk menaklukkan ganasnya
Ewang-ewang di belantara Nusa Ina, dengan parang kami jaga dan kami pelihara
setiap benih cengkeh, pala dan sagu demi kemakmuran kami. Di tangan kiri,
“Salawaku” sebagai perisai demi mempertahankan setiap tapak kaki negeri ini,
sambil berteriak “Mena” yang berarti “Maju kedepan” menyongsong masa depan yang
lebih baik.
Sungguh, kadang bagi kami orang-orang Maluku merasa telah tersingkir dari ruang
bernama “Indonesia”, sekian lama tertinggal dari pembangunan ditambah
disayat-sayat oleh konflik yang makin menghancurkan negeri ini. Negeri ini
hanyalah menjadi perhatian ketika RMS melempari “Indonesia” dengan kotoran, Selebihnya?
Demi asin lautan yang menghitamkan
kulit ari
Kesetiaan adalah bahasa lumba-lumba yang mestinya di mengerti sebagai cinta
Nasib anak negeri yang hanya bertengger sebagai janji
Telah menjelma bisa pari sejak hati terlukai
Kami bukan ikan-ikan mati yang bisa
dilempar sebagai tumbal negara ini
Demi kesetiaan berpuluh tahun yang hanya menorehkan luka
Anak-anak hitam, bau bia, bau laut kini memanen kata merdeka
Sekali berucap LAWAMENA selebihnya parang dan salawaku akan berkibar
Bahasa perlawanan sejak Nuku hingga
Pattimura adalah bahasa kesetiaan
Kepada negeri airmata dan darah tertumpah sesungguhnya karena cinta
Tetapi Jakarta…
Tetapi Jakarta telah menarik balik pabrik gula di Laimo
Jakarta telah mengambil stasiun oceanologi dan menaruhnya di Bali
Jakarta telah membiarkan kami sejak 19 Januari 1999 tanpa hati
Lalu kesetiaan macam apalagi yang
harus kami beri
Untuk hanya sekadar jadi petinju dan penyanyi di jantung negeri
Bukankah Soekarno bilang tanpa kami Indonesia tak jadi apa-apa
Seribu ton kopra yang kami bawa ke istana dimana kini harganya?
Maka demi asin lautan yang
mengeritingkan rambut kami
Sumpah Pattimura muda telah kami ikrarkan di seluruh pelosok negeri
Biar peluru menembus kulit kami tetap menerjang
Meminta keadilan sebagai harga atas nasib anak negeri
Selebihnya hanyalah bait-bait pada Sajak “Sumpah Pattimura
Muda” karangan Bang Dino Umahuk sajalah yang mampu bercerita tentang segalanya.
Bercerita tentang apa yang kami rasakan di sudut Indonesia ini, Sayah masih
ingat cerita Bapak dulu, ketika Soekarno datang ke Nusa Ina. Beliau meresmikan
sebuah kota yang sekarang menjadi pusat Kabupaten Maluku Tengah, kota yang
diberi nama “Masohi” yang merupakan budaya gotong royong memetik cengkeh
dikalangan masyarakat Seram Selatan. Masih terngiang desis suara Bapak yang
menceritakan tentang pidato Soekarno yang berapi-api, masih teringat sebuah
ucapan yang kadang dilupakan oleh mereka yang merasa memiliki Indonesia
“Indonesia Tanpa Maluku Bukan Indonesia, Maluku Tanpa Indoensia Bukan Maluku”.
Namun itu mungkin sudah terlupakan, kalimat itu hanya sekedar kata mutiara
untuk membuat kami terus terbuai oleh angin surga dari barat.
Sayah hanya Memohon untuk di Hentikan Penyebaran lelucon
gambar itu, anda yang membuatnya mungkin tidak berpikir sampai kemana kami bisa
terluka, aku tahu mungkin niat anda hanyalah untuk menjelaskan betapa bahwa
Gayus telah merasuki sistem ini, tapi disisi lain anda telah melukai hati
rakyat Maluku. Pattimura-pattimura muda telah sering dilukai oleh negeri ini,
Tolong jangan anda menambah luka itu… menyamakan Gayus dengan Pattimura
hanyalah sebuah tindakan yang sangat tidak CERDAS. karena “Bangsa Yang
Besar adalah Bangsa Yang Menghargai Jasa Para Pahlawannya..!!!”
smile
di kancing baju Kapitan Pattimura bila di lihat pake kaca pembesar.
Kebetulan
Saja Om, heheee
0 komentar:
Post a Comment