Penulis : Busranto Latif Doa
Sumber Foto : Koleksi Pribadi
Suatu hal yang jarang dilakukan oleh para pemerhati sejarah dan budaya “Moloku Kie Raha” (Maluku Utara)
adalah membahas tentang Kesultanan Jailolo di pulau Halmahera yang
telah lama vacum. Hal ini disebabkan minimnya sumber dan referensi yang
menunjang pembahasan tentang hal itu. Dalam penulisan sejarah oleh
bangsa Eropa, Jailolo sering ditulis “Gilolo”
yang menurut sebagian besar sumber barat dianggap sebagai cikal-bakal
kerajaan-kerajaan berikutnya di kawasan Maluku bagian utara, (kerajaan pertama dan tertua di jazirah maluku).
Menelusuri dan membahas jejak sejarah kesultanan Jailolo, menjadi lebih menarik akhir-akhir ini, setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi Sultan Jailolo yang dilakukan di dalam keraton kesultanan Ternate atas prakarsa Sri Sultan Ternate ; H. Mudafar Syah II
pada beberapa tahun yang lalu. Yang lebih menarik lagi dari itu adalah
menelusuri keturunan dan sisilah para raja Jailolo itu sendiri.
Sekedar info, bahwa beberapa peneliti sejarah kerajaan-kerajaan di Indonesia seperti ; Donald P. Tick gRMK (di Belanda), Christoper Buyers dan Hans Hagerdal
hingga saat ini pun belum bisa membuat suatu tulisan atau buku yang
membahas tentang jejak sejarah dan sisilah raja-raja Jailolo secara utuh
dan mendetail. Kendala yang dihadapi adalah keterbatasan sumber dan
referensi penunjang dalam merekonstruksi kembali fakta sejarah
perjalanan kesultanan Jailolo. Sejauh ini, baru terdapat ahli sejarah
ternama dari Universitas Indonesia Prof. DR. Richard Z. Leiriza
yang sudah pernah membuat beberapa karya tulis tentang sejarah Raja
Jailolo dalam meraih gelar Ph.D tahun 1990 dengan Dissertasi berjudul “Raja Jailolo dan Halmahera Timur: Pergolakan di Laut Seram di awal abad ke-19” (The King of Jailolo and Eastern Halmahera: Social upheavals in the Seram Sea during the early 19th century). Kemudian dipublikasikan oleh Balai Pustaka, tahun 1994.
Buku
ini membahas secara detail tentang sepak terjang raja Jailolo yang
berkuasa di Halmahera timur dan pulau Seram di Maluku Tengah. (yang menurut periodesasi versi saya adalah periode Kesultanan Jailolo Tahap II dan III saja). Karena yang dibahas oleh beliau adalah “hanya”
kejadian atau tempos antara tahun 1811 hingga 1832 saja yang menjadi
heavy-nya. Sedangkan kronologis perjalanan sejarah kesultanan Jailolo
secara utuh dari raja pertamanya hingga saat ini, belum ada satupun ahli
sejarah yang mengungkapkan “the hidden history” tersebut. Namun demikian, karya besar Prof. DR. Richard Z. Leiriza
tersebut merupakan sebuah hasil kajian yang spektakuler yang belum
pernah ditulis oleh siapapun tentang kronologis secara detail pada
periode tersebut.
Salah satu buku yang juga cukup banyak menguraikan tentang sejarah
Sultan Jailolo Tahap II (Muhammad Arif Bila) seorang Sangadji Tahane
yang diangkat oleh NUKU dari Tidore untuk melengkapi keempat pilar
MOLOKU KIE RAHA adalah karya besar ELVIANUS KATOPPO yang berjudul ; “NUKU, Sultan Saidul Jehad Muhammad el Mabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan alisa Jou Barakati – SULTAN TIDORE – (Riwayat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Maluku Utara tahun 1780 – 1805)“.
Memang sumber dan referensi sejarah tentang kesultanan Jailolo sangat
minim sekali. Namun demikian dari ratusan ribu penduduk Maluku Utara
yang hidup saat ini, ternyata masih tersimpan dokumen sisilah keturunan
raja-raja Jailolo (silsilah keluarga / marga / klan), yang ditulis pada
selembar “old manuscript”. Daftarf
sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian. Lembaran
besar adalah uraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik”
yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu lembar lagi
adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih diperinci
dan diperjelas dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera karena
lembaran aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembar kecil
bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat
Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut.
Ketiga
lembar bersejarah ini ditulis dalam aksara Arab dengan tulisan tangan
bertanggal 4 Rabbiul awal 1277 H, yang saya hitung mundur berdasarkan
kalender Masehi adalah bertepatan dengan hari Rabu tanggal 19 September
1860 yang ditulis tangan oleh Sekretaris Besar Kesultanan Tidore yang biasa disebut “Jurutulis Lamo” yang waktu itu dijabat oleh Hasan ud-din. Keterangan ini dilengkapi dan disahkan dengan bubuhan “tanda cap asli” kesultanan Tidore (bakar tempel – bukan tinta). Original paper-nya, saat ini ada di tangan keturunan ke-13 dari SULTAN DOA yang beranak pinak di Soa Sambelo
kota Tidore. Semula, selama hampir seratus tahun lebih daftar sisilah
keturunan ini bersemayam di Fola Soa di Soa Sambelo Tidore, Para
keturunan ini tersebar dimaNa2 di Maluku Utara, mereka semua meminta
dirahasiakan identitas mereka. Ada yang berdomisili di pulau Tidore (; Soasio-Sambelo,
Toloa dan Mareku). Ada juga yang beranak cucu di pulau Moti, pulau
Makian dan di Desa Gita dekat Payahe. Ada juga salah satu percabangan
yang beranak cucu di Dufa-Dufa Pantai Ternate. Ada juga yang di pulau
Seram dan Ambon.
Sebelum Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi
Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di
mana-mana ini seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an”
nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang
mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang
kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan
latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah
menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an
mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa
keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula
kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman
(Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu
adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana
Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan
tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih
dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo.
Kembali
pada pembahasan semula…, Dokumen tentang sisilah raja-raja Jailolo ini
dalam historiografi tentang kesejarahan Jailolo adalah sebuah dokumen
langka yang sangat dibutuhkan dalam untuk dijadikan salah satu referensi
(sumber otentik) dalam studi kajian tentang hal ini. Hampir
semua sumber-sumber tentang sejarah yang berghubungan dengan Jailolo
yang ada di Leiden Museum Belanda, Museum Swedia, Museum di Inggris, dan
dokumen Oxford University dan dokumen digital milik Smithsonian
Institute USA, tidak pernah diketemukan dokumen seperti ini.
Sebagai pemerhati budaya, tradisi dan sejarah Maluku Utara, saya
sangat berminat untuk studi kajian tentang hal ini. Upaya untuk
merekontruksi kembali fakta sejarah tentang perjalanan sejarah
kesultanan Jailolo terus saya lakukan dengan menghimpun berbagai sumber
tertulis baik di dalam negeri maupun sumber asing. Aspek subjektifitas
yang mungkin masih ada pada masing-masing penulis sejarah termasuk pada
saat ini saya dalam menyajikan artikel ini ke blog, diupayakan untuk
diminimalisir sebisa mungkin, agar mencapai sebuah hasil kajian
historiografi yang lebih objektif.
Beberapa saat yang lalu saya sering melakukan kontak dan sharing
dengan dua orang peneliti sejarah kerajaan2 di Indonesia seperti yang
sudah saya sebutkan di atas, yaitu : Donal P. Tick gRMK dan Christoper Buyers termasuk Hans Hagerdal (silakan searching nama-nama ini di Google Search)
sehubungan dengan kajian tentang sejarah kesultanan Jailolo ini. Mereka
banyak menulis tentang seputar kerajaan di Indonesia termasuk kerajaan
Jailolo. Para ahli sejarah ini tertarik untuk meneliti lebih jauh
tentang sisilah raja-raja Jailolo yang saya kemukakan ini, termasuk
keinginan mereka untuk meneliti berasal dari mana sisilah Sultan
Abdullah Syah. Abdullah Syah diyakini adalah salah satu dari keturunan
dari Prins Gugu Alam turun hingga ke Muhammad Asgar dan Hay ud-din yang
dibuang oleh Belanda ke Cianjur pada tahun 1832. Untuk
kerajaan-kerajaan di Maluku Utara, baru kesultanan Ternate yang sudah
dipublikasikan melalui website Royal Ark dalam titel “Ternate, Brief History ”, sedangkan untuk kasultanan Tidore, Jailolo dan Bacan belum ada data lengkap untuk dipublikasikan.
Setelah sekian banyak komunikasi & sharing dengan kedua peneliti
sejarah ini, saya mencocokan data ahli sejarah tersebut di atas dengan
salinan “old manuscript” tersebut (lihat gambar), maka terdapat banyak kesamaan.
Dengan demikian menurut saya, untuk sementara disimpulkan bahwa; Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam.
Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari
Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama
dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya.
Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.
Menurut sumber ini, Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo)
beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama
sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore
pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari
Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku
baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima
yang handal.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur)
mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri,
melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di
Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.
Wilayah
kesultanan Jailolo sudah dilebur menjadi wilayah Ternate sejak tahun
1635, sedangkan pada masa kekuasaan Sultan Nuku, bekas wilayah
kesultanan Jailolo masuk dalam kekuasaan kesultanan Tidore. Muhammad
Arif Bila wafat di daerah Weda pada tahun 1807 karena kecelakaan.
Putera tertuanya Muhammad Asgar diangkat oleh pengikutnya di Halmahera timur menjadi Sultan Jailolo II, pada periode ke-2 ini. Kronologis sejarah kesultanan Jailolo Periode I (pertama) berawal dari Kolano Pertama dan berakhir pada masa Sultan Doa yang memperistri putri dari Sultan Ternate Said Barakat, dan mendapatkan seorang putra bernama Haeruddin (Herr). (Sedangkan
ayah Sultan Doa yang bernama Yusuf II dengan gelar Qodrat juga
memperistri putri dari Sultan babullah yang bernama Boki Ainal Yakina.
Anak keturunan Sultan Doa dari putranya Herr ini masih tercatat jelas
dalam sisilah keturunan ini, mereka tersebar di hampir seluruh Maluku
Utara, diantaranya; pulau Tidore – paling banyak (Soasio Sambelo, Mareku
dan Toloa), pulau Moti, pulau Makian, pulau Ternate, dsb). Hal ini juga menjadi perhatian kedua peneliti tersebut untuk melakukan penelitiannya nanti di masa yang akan datang.
Pada tahun 1810 Muhamad Asgar ditangkap oleh penguasa Inggris karena
Inggris yang sedang berkuasa saat itu tidak mengakuinya sebagai Sultan
Jailolo. Kemudian pada tahun 1817 Muhammad Asgar diasingkan ke Semarang
dan bermukim jauh dari keramaian kota Semarang yakni di sekitar antara
daerah Semarang dan Jepara.
Tahun
1825 setelah Belanda kembali berkuasa setelah Inggris, ia dikembalikan
lagi ke Maluku Utara dan diangkat oleh penguasa Belanda seperti
sebelumnya sebagai Sultan Jailolo dalam pengasingan namun berkedudukan
di pulau Seram Maluku Tengah. Adik Muhammad Asgar yakni Kaicil Haji beserta pengikutnya menyusul ke pulau Seram dan akhirnya diangkat Belanda menjadi Sultan Jailolo III dengan nama kebesaran; Sultan Syaif ud-din Jihad Muhammad Hay ud-din Syah.
Karena perselisihan dengan pihak Belanda, akhirnya Sultan Jailolo III ini bersama dengan Jogugu Jamaluddin, Kapita laut Kamadian
beserta seluruh keluarga berjumlah 60 orang diasingkan Belanda ke
Batavia kemudian ke Cianjur. Beliau wafat pada tahun 1839 di Cianjur
Jawa Barat. Akhirnya eksistensi kesultanan Jailolo Tahap III inipun
berakhir. Dan Maloku Kie Raha tinggal hanya 3 kesultanan saja, yaitu
Ternate, Tidore dan Bacan.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahwa menurut asumsi saya,
kemungkinan dari keturunan inilah, penelusuran dilakukan oleh Sri Sultan
Ternate saat ini untuk memilih Abdullah Syah bin Abdul Haryanto dan
mengangkatnya menjadi Sultan Jailolo sekarang, adalah berasal dari
keturunan di Cianjur ini. Untuk hal ini saya belum sempat melakukan
wawancara dengan Sultan Ternate. Selain itu, penunjukan Sultan Jailolo
ini juga dilakukan dengan ritual khusus oleh Sultan Mudafar Syah II dan
memakan waktu yang cukup lama. (biasanya orang Ternate menyebut Sultan Jailolo dengan sebutan “KOLANO JOU TIA”).
Hal ini tergambar dalam syair lagu yang berjudul “JOU TIA” hasil karya Sultan H. Mudaffar Syah yang dinyanyikan oleh “EL-EL” Vocal Group pada era tahun 1980-an.
Upaya untuk menghidupkan kembali kesultanan Jailolo Tahap IV, pernah dilakukan oleh Dano Baba Hasan
pada tahun 1876. Ia meminta pemerintah Belanda mengakuinya sebagai
Sultan Jailolo. Menurut beberapa penulis, Dano Baba Hasan adalah kerabat
keraton Ternate yang pada tahun 1832 diangkat oleh Sultan Ternate Muhammad Zain menjadi Salahakan (Utusan Sultan) di pulau Seram. Tanggal 21 Juni, Dano Baba Hasan mengakhiri usahanya dan menyerahkan diri kepada Residen Tobias,
dan dideportasi ke Ternate dan akhirnya diasingkan ke Muntok di
Sumatera. Merunut dari sisilah tersebut, Dano Baba Hasan adalah cucu
dari Abdul Gani, saudara bungsu dari Muhamad Asgar dan Muhamad Hayuddin yang dibuang ke Cianjur tersebut.
Setelah periode untuk menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap IV gagal, Upaya untuk itu dimulai lagi yakni pada Periode Jailolo Tahap V dilakukan oleh Dano Jae ud-din
di Weda dan Waigeo di Halmahera Timur pada tahun 1914. Seorang Dano
dari Ambon yang masih keturunan Dano Baba Hasan mengklaim dirinya
sebagai ahli waris, memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Jailolo pada
periode Tahap V ini. Ia kemudian ditangkap Belanda dan dipenjarakan di
Ternate hingga akhir hayatnya. Demikian berakhir pula usaha untuk
menghidupkan kesultanan Jailolo Tahap V juga gagal.
Perlu digaris-bawahi, bahwa semua upaya untuk menghidupkan kembali
eksistensi kesultanan Jailolo dan berkuasanya para Sultan Jailolo pada
periode II, III, IV dan V, sama sekali bukan berkedudukan di wilayah
kesultanan Jailolo yang sebenarnya (Limau Tagalaya), melainkan di tempat pengasingan di luar wilayah kultur kesultanan Jailolo itu sendiri.
Upaya terakhir untuk menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo Tahap VI,
maka Sri Sultan Ternate H. Mudafar Syah II mengambil prakarsa untuk
menghidupkan kembali kesultanan Jailolo yang telah hilang selama ratusan
tahun. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi budaya
Maluku Utara sebagai symbol pemersatu bangsa dalam wadah NKRI dan juga
dalam rangka untuk melengkapi empat pilar persekutuan kerajaan-kerajaan
di “Maloku Kie Raha” yang hanya tinggal tiga, yakni; Ternate, Tidore dan Bacan. Dengan menunjuk Sdr. Abdullah Abdul Rahman Haryanto Syah, seorang mantan tentara yang menurut penelusuran beliau adalah keturunan Muhammad Asgar dan Kaicil Hadji yang dibuang oleh Belanda ke Cianjur Jawa barat.
Sebab semua masyarakat di Maluku Utara tahu kalau cuma ada tiga
pilar/kesultanan saja, itu bukan berarti Maloku Kie Raha lagi, akan
tetapi Maloku Kie Ra’ange. (Admin; Raha=empat, Ra’ange=tiga).
Demikian beberapa sharing saya melalui email dengan kedua penulis asing tersebut. Pada kesempatan terakhir via e-mail, Mr. Donal P. Tick gRMK,
meminta kapada saya gambar/foto diri dari Dano Jae ud-din jikalau ada
dokumen tentang itu. Tapi saya rasa sulit untuk mendapatkan gambar
tentang Dano Jae ud-din yang mereka maksud. Beliau tertarik untuk
meneliti pula tentang keturunan dari Dano Jae ud-din ini, kata Mr. Donal
P. Tick gRMK menulis dalam e-mail nya :
“Interesting about the descendant of Dano Baba Hasan with name
Dano Jae ud-din, who was regarded as dynastychief / heir in 1914. Do you
know more about him ? A picture of him would be fascinating. I also
would like to know, if the present Sultan is taken very seriously. Some
say he is only a creation of Sultan Ternate”. Thank you for all. If you
want, you can add some info under the picture of Sultan Jailolo on my
website at : http://kerajaan-indonesia.blogspot.com”.
Namun sayangnya, pada event SOUTH EAST ASIA ROYAL FESTIVAL di
Bali pada tanggal 25-30 November 2008 yang lalu Mr. Donal P. Tick gRMK
tidak sempat hadir karena ada mega proyek yang tidak boleh ditinggalkan
di Belanda, sehingga rencana kami untuk bertemu muka juga tidak
terlaksana. Hal ini sehubungan dengan minat kedua peneliti ini untuk
mengungkap apa yang mereka sebut ”The Hidden History of Jailolo”.
Sources :
1. Forrest, Thomas. 1780 (1779) A Voyage to New Guinea and the Moluccas, from Blambangan
; Including an Account of Mangindanao, Sooloo, and Other islands; and
Illustrated with Thirty Copperplates. Performed in the Tartar Galley,
Belonging to the Honourable East India Company, During the years 1774,
1775 and 1776. 2nd Edition. J. Donaldson, G. Robinson and J. Bell.
2. Royal Ark Website, by ; Christoper Buyers
3. Old Manusscript, Personal document from the descendants of Sultan Doa at Soa Sambelo Tidore and also at the descendant in Ternate Island.
4. Some Contribution and some descriptions from Mr. Donad P. Tick gRMK (Netherland),
based on the source from the list of the genealogy Jailolo Sultanate,
the collection Coolhaas in the Nationaal Archief in Den Haag / the
Netherlands.
Source of information is almost the same as the list of genealogy of the descendants it Ternate island today. (see it on the picture).
Source of information is almost the same as the list of genealogy of the descendants it Ternate island today. (see it on the picture).
=Sumber tambahan adalah dari kontribusi dan beberapa penjelasan dari
Bapak D.P. Tick gRMK, di Hoillad Belanda berdasarkan sumber dari daftar
yang silsilah Kesultanan Jailolo, koleksi Coolhaas dalam Nationaal
Archief di Den Haag / Belanda. Sumber informasi tersebut hampir sama
dengan daftar silsilah dari keturunan Sultan Doa yang ada di Fola Soa
Sambelo di Tidore dan salinannya yang ada di sebagian keturunan yang
sudah beranak-pinak di pulau Ternate, Moti dan di Ambon. (lihat pada
gambar).
====================================================================
Bahasan tentang hal ini belum pernah dipublikasikan & dibahas oleh siapapun sebelumnya, dan hanya ada di blog ini……
Pernyataan di atas adalah bentuk “klaim” atas “the value of my personal study of history” dari saya selaku penulis artikel ini. Tidak dilarang untuk “mengutip” semua isi artikel ini, asalkan menyertakan sumber utamanya, yakni dari blog ini…!
Semoga tulisan ini menjadi pemicu kepada semua kalangan yang ingin melakukan “penelitian lanjutan” di masa yang akan datang. Ditunggu tanggapan-tanggapannya, baik “destruktif” maupun “konstruktif”, silakan masukan di bawah artikel ini….. Terima kasih…..!
Jakarta, 20 Maret 2009.
source : http://ternate.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment