Orang-orang [itu masih] Kalah
Nus Ukru dan kawan-kawan sejatinya pernah menulis ‘Potret Orang-orang
Kalah’ yang mengulas sampai ke akar-akar penggusuran dan pemiskinan
orang-orang asli Maluku dari Ujung Halmahera sampai Tenggara jauh oleh
amukan mesin-mesin chainsaw, tractor, dan kebijakan
pemerintah sentralisme orde baru yang jelas memiskinkan. Sungguh buku
itu menjadi rekaman masa-masa kelabu yang umumnya diderita oleh
masyarakat di kawasan timur Indonesia.
Orang-orang kalah dalam hasil penelitian
Ukru dan kawan-kawan sejatinya itu juga yang dalam waktu lama direkam
teman-teman jaringan Baileu, LSM dan pemerhati kemanusiaan di negeri
kita ini. Semisal itu pula apa yang diupayakan Abidin Wakanno, Jacky
Manuputty, Sven Loupatty, Oliva Lasol dan kawan-kawan LAIM [Lembaga
Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku] selama ini merupakan suatu usaha
serius untuk membangun kultur percaya diri yang tinggi akan hakekat
kemanusiaan, apa tujuan menjadi manusia di dalam bingkai kebudayaan
kemanusiaan [orang basudara] lintas seluruh batas dan ‘lompati’ semua
tembok tinggi.
Tentu masih banyak lembaga dan orang lain, termasuk melalui kampus dan organisasi kepemudaan yang punya kepedulian yang sama.
Sejenak menyimak peristiwa yang terjadi
secara bertubi-tubi di Seram Utara, orang-orang Horale sebagai komunitas
asli Pulau Seram terancam tergusur dari negerinya. Soalnya sederhana,
mereka disebut sebagai bukan masyarakat adat yang menghuni negeri
adatnya, Horale.
Sementara sebagian lain lagi, seperti
komunitas adat di Losa, Piliana-Telutih, masih tetap menjaga akar-akar
kulturalnya sambil membangun dialektika yang unik dengan saudara-saudara
mereka yang sudah menjadi Kristen, demikian pula Komunitas Nuaulu di
Sepa [Maluku Tengah] atau di Pulau Buru [Utara dan Selatan] dalam
dialektika dengan saudara-saudaranya yang sudah menjadi Islam dan
Kristen.
Namun mereka adalah juga ‘orang-orang
kalah’ yang terancam tercabut dari akar kultural dan adatnya, serta yang
hak-hak ulayatnya mulai rusak akibat penebangan pohon oleh perusahaan
kayu lapis dan perusahaan kayu lainnya, dan ada juga yang mulai dicaplok
untuk kebutuhan perkebunan berskala besar, seperti kelapa sawit.
Fenomenanya menjadi semakin menarik disimak karena sebagian besar
komunitas asli [indigenous people] ini menjual lahannya dengan
harga murah lalu beralih dari petani pemilik menjadi buruh tani dengan
konsekuensi upah yang rendah.
Semua itu terjadi karena kawasan tempat
tinggal atau negeri-negeri mereka sulit dijangkau atau akses ke pasar
yang sulit dan mahal serta beresiko bagi kerusakan potensi sumber daya
produksinya. Situasi ini yang dimanfaatkan pengijon untuk melestarikan
gerakan ijonisasi atau ijonismenya.
2. Pendidikan [masih juga] Kalah
Di negeri-negeri itu pendidikan masih berlangsung seret. Mulai dari
masalah ruang kelas dan bangunan sekolah yang tidak memadai sampai pada
tenaga guru yang jelas-jelas terbatas-rekrutmen anak negeri setempat
menjadi guru di negerinya belum menjadi jurus pamungkas untuk
menyelesaikan masalah ini.
Di pedalaman pulau Buru dan Seram hal itu
menjadi sebab tingginya buta huruf sampai saat ini. Akibatnya mereka
masih rentan terhadap proses-proses pembodohan dalam banyak aspek,
sehingga mereka terus menikmati keadaan hidup susah bukan lagi sebagai
beban melainkan kenyataan, sambil menonton melalui parabola berbagai
kemajuan di belahan negeri lain di Nusantara ini. Sarana air bersihnya
tidak memadai, tetapi dibuat senang dengan menonton artis-artis yang
cantik-cantik memerankan kemiskinan orang-orang di kota besar.
Angka putus sekolah dan pengangguran
sudah menjadi hal yang lazim. Anak tidak pergi ke sekolah pun bukanlah
hal yang penting untuk orang tua. Semuanya karena kondisi memaksa mereka
menerima kenyataan seperti itu.
3. Kesehatan [masih juga] Kalah
Angka kematian ibu hamil dan bayi terbilang tinggi pula. Sama dengan
Kejadian Luar Biasa [KLB] Kesehatan, gizi buruk dan lainnya. Bangunan
Pustu ada yang ‘dihuni rumput’ karena tidak layak dan tidak ada tenaga
kesehatan/keperawatan. Lagi-lagi karena jauh dan tidak ada akses
informasi dan transportasi yang memadai.
Mengapa begitu? Karena masyarakat dibuat
untuk yakin bahwa: ‘orang tatua dolo-dolo tidor deng badang talanjang di
degu-degu, makang makanang mantah juga tar ada yang saki macam-macam’.
Idiomatik yang jelas sangat pejoratif dan mensahkan keengganan kita
melayani hak-hak dasar mereka. Padahal dana kesehatan untuk daerah
terpencil dan pelosok cenderung tinggi tiap tahun.
4. Ekonomi [lebih] Kalah [Lagi]
Bukan lagi rahasia umum jika negeri kita ini kaya potensi. Masyarakat
kita pun masih suka dengan simbolisasi: ‘Maluku itu kaya’, ‘Segala
sesuatu ada di Maluku’, ‘buang batang kasbi sa batumbuh’. Kita sangat
suka dengan identitas simbolik seperti itu. Tanpa kita sadari terjadi
dua hal yang sangat dilematik.
Pertama, kebanggaan simbolik membuat
untuk waktu yang lama kita menjadi penonton ketika seluruh potensi kita
dieksplorasi, direkrut dan diangkut keluar dari negeri kita, tanpa ada
imbas kekayaan dan kesejahteraan kepada daerah dan masyarakat. Untuk
waktu yang lama pula Pemerintah kita dengan senang hati dan bangga
memberi ijin pengelolaan seluruh potensi kekayaan alam negeri ini.
Sekarang baru ramai-ramai kita memproteksi dan meminta garansi, karena
kita baru sadar atau disadarkan bahwa selama ini ‘kita telah dipukul
kalah’.
Kedua, identitas simbolik tadi berdampak
serius pada mindset kita mengenai kerja dan usaha ekonomi. Karena merasa
‘kaya’, kita lalu gampang terbuai dengan simbol-simbol kekayaan,
seperti uang, kedudukan, jabatan dan pangkat. Ruang kerja yang membuat
akses ke simbol-simbol itu mudah adalah kantor, markas besar. Perilaku
ambtenaris yang telah melekat itu terjadi sebab identitas simbolik tadi.
5. Agenda ‘Orang Kalah’
Apa yang harus kita kerjakan? Membuat ‘orang kalah’ berteriak dengan
lantang tentang semua bentuk ketidakadilan dan monopoli yang terus
melilit, lalu semua elemen bangsa dan kekuatan sipil di negeri ini
membantu menjadi corong mereka untuk perjuangan kesejahteraan.
Mungkin sudah terlambat, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
Jangan jadikan mereka sebagai data ilmiah
yang tidak mampu mendorong sebuah tindakan sosial melainkan menjadikan
masyarakat sebagai kekuatan pendorong perubahan sosial di negeri mereka
sendiri.
Share